JAKARTA – Kebijakan tarif impor yang diberlakukan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi Indonesia. Menurut Ekonom Universitas Andalas (Unand) Sumatera Barat, Syafrudin Karimi, kebijakan tersebut bukan hanya langkah proteksi ekonomi, melainkan juga bagian dari arsitektur kekuasaan global yang digunakan untuk mengalihkan perhatian dunia dari isu-isu kemanusiaan, terutama tragedi berkepanjangan di Gaza.
“Kebijakan tarif Trump bukan sekadar soal neraca perdagangan, melainkan mencerminkan arsitektur kekuasaan global yang memungkinkan kekejaman tetap berlangsung selama angka ekonomi terlihat ‘stabil’,” ujar Syafrudin di Padang.
Syafrudin menilai bahwa sistem ekonomi global saat ini tidak lagi berjalan murni untuk efisiensi atau pertumbuhan. Ia menyebut ekonomi telah berubah menjadi panggung narasi dan kontrol. Dalam konteks ini, kebijakan tarif impor digunakan sebagai alat manipulasi geopolitik dan pembungkam suara-suara kemanusiaan.
“Tarif impor digunakan bukan hanya untuk melindungi industri dalam negeri, melainkan juga untuk mengatur ulang narasi global, mengalihkan perhatian dari kejahatan kemanusiaan, dan melindungi kepentingan geopolitik tertentu,” tambahnya.
Ekonomi Global: Efisien tapi Membungkam
Pernyataan Syafrudin mencerminkan kegelisahan yang lebih luas atas praktik ekonomi global dewasa ini. Ia menyebut bahwa dua wajah dari kekuasaan global—tarif proteksionis dan kebungkaman atas kekerasan di Gaza—saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain.
“Kebijakan tarif proteksionis dan kebungkaman terhadap kekerasan sistemik di Gaza merupakan dua wajah dari kekuatan yang sama, yakni kekuasaan yang menekan lewat ekonomi dan membungkam lewat ketakutan,” ujarnya.
Kondisi ini diperparah oleh ketakutan negara-negara kecil terhadap sanksi atau pembalasan ekonomi dari negara-negara besar. Akibatnya, banyak negara memilih bungkam terhadap pelanggaran hak asasi manusia demi menjaga hubungan dagang dan stabilitas ekonomi mereka.
“Hubungan dagang berubah menjadi senjata diplomatik, dan solidaritas kemanusiaan pun dijadikan sandera,” tegas Syafrudin.
Indonesia di Tengah Tekanan Global
Dampak langsung dari kebijakan tarif proteksionis Amerika Serikat juga dirasakan oleh Indonesia. Berbagai produk unggulan nasional seperti tekstil, komponen elektronik, hingga hasil industri manufaktur mengalami hambatan masuk ke pasar AS, yang selama ini menjadi tujuan ekspor utama.
Akibatnya, sejumlah sektor produksi dalam negeri terpukul, memicu peningkatan angka pengangguran, menurunnya daya beli masyarakat, serta perlambatan konsumsi rumah tangga.
Meski berada di bawah tekanan ekonomi global, Indonesia tetap konsisten menyuarakan dukungan terhadap Palestina. Dukungan ini menjadi simbol moral dan diplomatik di tengah dilema yang kompleks antara kemanusiaan dan kepentingan ekonomi.
“Menolak tarif sepihak dan berdiri bersama Gaza bukanlah dua agenda terpisah, melainkan satu perjuangan yang sama untuk menjaga integritas dunia yang manusiawi,” tegas Syafrudin.
Alternatif Strategi: Diplomasi dan Diversifikasi Ekonomi
Sebagai solusi terhadap tekanan global, Syafrudin mengusulkan agar Indonesia mengambil langkah-langkah strategis dalam membangun ekonomi yang mandiri dan bermoral. Salah satu caranya adalah dengan mendorong diversifikasi pasar ekspor ke kawasan-kawasan yang lebih terbuka terhadap kerja sama berdasar nilai kemanusiaan seperti Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
Diplomasi perdagangan juga perlu diarahkan untuk membentuk blok dagang alternatif yang mengusung prinsip keadilan sosial dan solidaritas. Selain itu, penguatan industri dalam negeri menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara besar.
“Indonesia harus melihat ekonomi sebagai ruang moral, bukan hanya kalkulasi untung-rugi,” katanya.
Syafrudin juga mendorong agar Indonesia menjadi inisiator forum internasional yang membahas etika perdagangan global, guna menyeimbangkan logika pasar dengan nurani kemanusiaan. Menurutnya, inisiatif ini penting untuk membangun kembali sistem ekonomi global yang inklusif, adil, dan manusiawi.