Prabowo Subianto

100 Hari Pemerintahan Prabowo: Sorotan Kritis Akademisi, Aktivis, dan Praktisi Hukum dalam Diskusi Publik

100 Hari Pemerintahan Prabowo: Sorotan Kritis Akademisi, Aktivis, dan Praktisi Hukum dalam Diskusi Publik
100 Hari Pemerintahan Prabowo: Sorotan Kritis Akademisi, Aktivis, dan Praktisi Hukum dalam Diskusi Publik

JAKARTA – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang telah berjalan selama lebih dari 100 hari mendapatkan sorotan tajam dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina bersama Institut Harkat Negeri, Kamis. Acara yang bertajuk “Enam Bulan Pemerintahan Prabowo: The Extraordinary, The Good, The Bad, and The Ugly” ini digelar di Trinity Tower, Kampus Kuningan, dan menghadirkan beragam tokoh nasional dari berbagai latar belakang.

Diskusi ini menjadi forum reflektif atas masa transisi awal pemerintahan baru yang sering dianggap sebagai masa "bulan madu" politik. Wakil Rektor Universitas Paramadina, Handi Risza Idris, menyatakan bahwa enam bulan pertama menjadi momen krusial dalam membaca arah kepemimpinan nasional.

"Setiap pergantian pemerintahan selalu membawa harapan baru, tapi juga tantangan besar, terutama dalam menghadapi warisan kebijakan masa lalu," ujar Handi.

Kesenjangan Kekuasaan dan Demokrasi Tertutup

Salah satu kritik mendalam disampaikan oleh Sudirman Said, mantan Menteri ESDM dan Ketua Institut Harkat Negeri. Ia mengulas kepemimpinan nasional dari sudut pandang Power Distance Index (PDI) atau Indeks Jarak Kekuasaan, yang menggambarkan kecenderungan masyarakat menerima kesenjangan kekuasaan.

“Indonesia termasuk negara dengan indeks PDI tinggi, seperti India dan Filipina. Hal ini menciptakan budaya pemerintahan top-down dan membatasi ruang dialog,” jelas Sudirman. Menurutnya, tingginya PDI membuka celah terhadap praktik nepotisme dan pengambilan keputusan yang tidak partisipatif.

“Semakin tinggi indeks PDI, semakin sulit rakyat ikut serta dalam pengambilan kebijakan. Elit politiklah yang memegang kendali penuh,” tambahnya. Ia menegaskan bahwa pemerintahan Prabowo harus berani menurunkan indeks ini agar demokrasi lebih inklusif dan adil.

Mahfud MD: Penegakan Hukum Masih Lemah

Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, turut menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi penegakan hukum yang menurutnya memburuk selama enam bulan pemerintahan berjalan. Ia menyebut korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang telah membentuk jejaring kekuasaan kompleks, termasuk di lembaga peradilan.

“Korupsi bukan hanya menyentuh institusi, tapi sudah menjelma menjadi jaringan kekuasaan yang berbahaya,” tegas Mahfud.

Ia menyoroti kasus pagar laut yang menggambarkan lemahnya komitmen aparat penegak hukum. Menurut Mahfud, hanya satu lurah dari 16 kelurahan yang dijadikan tersangka, padahal pemalsuan ratusan sertifikat tanah mustahil dilakukan tanpa restu pejabat tinggi.

“Dalam kasus itu, Kejaksaan Agung menyatakan ada unsur korupsi, tapi polisi bilang tidak. Ini mencerminkan lemahnya koordinasi dan potensi intervensi dari oligarki,” katanya. Mahfud mendesak agar Kejaksaan mengambil alih penyelidikan tanpa harus menunggu hasil dari kepolisian.

Kebebasan Pers dan Ancaman Otoritarianisme Baru

Direktur Tempo Media Group, Budi Setyarso, menambahkan bahwa tantangan terhadap kebebasan pers bukanlah fenomena baru. Namun, tekanan terhadap media kembali meningkat seiring merapatnya kekuasaan partai-partai besar ke lingkar kekuasaan.

“Kebebasan pers tidak cukup diperjuangkan oleh jurnalis saja, tapi harus dibela oleh masyarakat sipil. Tanpa itu, tidak ada good governance,” ujar Budi.

Ia menyebut sejarah pembredelan media pada masa Orde Baru sebagai pelajaran penting, termasuk penutupan Tempo tahun 1994. Budi menilai situasi saat ini mirip dengan masa itu, terutama saat negara mulai menggunakan platform digital untuk membungkam suara oposisi.

Tantangan Ekonomi: Deindustrialisasi dan Tekanan Fiskal

Ekonom Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan bahwa kondisi fiskal Indonesia tengah menghadapi tekanan berat. Ia mencatat penurunan penerimaan negara hingga 16,7% pada kuartal pertama 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

“Tekanan fiskal ini diperparah dengan hilangnya dividen BUMN yang dialihkan ke Lembaga Pengelola Investasi,” kata Wijayanto.

Ia juga menyoroti pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mayoritas mata uang dunia, meningkatnya angka PHK, dan memburuknya daya beli masyarakat. “Rupiah melemah terhadap 78% mata uang dunia. Ini alarm penting bagi pengelolaan utang nasional,” tambahnya.

Wijayanto menilai Indonesia mengalami deindustrialisasi dini yang diperparah oleh financialization, yaitu dominasi sektor keuangan atas sektor riil. Struktur ekonomi yang rapuh membuat Indonesia tidak siap menghadapi guncangan global.

Harapan ke Depan

Diskusi tersebut menyoroti perlunya kepemimpinan yang lebih terbuka, kebijakan yang lebih inklusif, serta keberanian pemerintah dalam menghadapi oligarki dan memperkuat hukum. Sejumlah pembicara sepakat bahwa refleksi kritis ini harus menjadi dorongan perbaikan bagi pemerintahan Presiden Prabowo agar tidak terjebak dalam pola lama.

“Komitmen Presiden dalam pidato antikorupsi patut diapresiasi, tapi jika berhadapan dengan oligarki, retorika itu seringkali tidak membuahkan tindakan nyata,” tutup Mahfud.

Dengan tantangan besar di bidang hukum, ekonomi, demokrasi, dan kebebasan pers, masa depan pemerintahan Prabowo Subianto akan sangat ditentukan oleh keberaniannya dalam melakukan terobosan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan demokrasi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index