Pinjaman Online

OJK Wajibkan Agunan untuk Pinjaman Online di Atas Rp2 Miliar, Ini Alasannya

OJK Wajibkan Agunan untuk Pinjaman Online di Atas Rp2 Miliar, Ini Alasannya
OJK Wajibkan Agunan untuk Pinjaman Online di Atas Rp2 Miliar, Ini Alasannya

JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperketat regulasi terhadap industri pinjaman online (fintech peer-to-peer lending/P2P lending) dengan merancang aturan baru yang mewajibkan agunan untuk pinjaman di atas Rp2 miliar, khususnya bagi pinjaman produktif. Ketentuan ini tercantum dalam Rancangan Surat Edaran OJK (SEOJK) tentang Penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, yang kini masih dalam tahap pembahasan.

Menurut OJK, kewajiban agunan ini akan diberlakukan paling lambat satu tahun sejak aturan resmi ditetapkan. Langkah tersebut merupakan bentuk mitigasi risiko dalam menghadapi lonjakan kasus gagal bayar yang selama ini menjadi momok dalam industri P2P lending, khususnya pada segmen pembiayaan produktif.

Perlindungan Investor dan Kelangsungan Usaha Jadi Fokus Utama

Agusman, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, menyatakan bahwa kewajiban agunan adalah bentuk perlindungan bagi para lender atau pemberi pinjaman, terutama dalam pembiayaan skala besar.

“Pada dasarnya adalah untuk memperkuat mitigasi risiko kredit sebagai antisipasi potensi risiko default atau gagal bayar, terutama pembiayaan dengan nilai tinggi yang berdampak besar bagi perlindungan lender dan keberlanjutan penyelenggara,” jelas Agusman dalam Konferensi Pers Hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan Maret 2025.

Selama ini, sistem agunan belum diberlakukan dalam mekanisme pinjaman daring. Berbeda dengan pinjaman perbankan yang secara umum telah lama mensyaratkan jaminan aset, fintech lending kerap mengandalkan aspek kepercayaan dan profil kredit semata, terutama untuk pinjaman produktif seperti pembiayaan usaha kecil dan menengah (UKM).

Skema Recovery Gagal Bayar Lebih Kuat

Dengan diterapkannya kewajiban agunan, penyelenggara fintech P2P lending akan memiliki instrumen hukum untuk pemulihan dana jika terjadi wanprestasi dari peminjam atau borrower. Hal ini menjadi langkah penting karena sebelumnya, banyak penyelenggara tidak memiliki jalur efektif untuk menagih kembali pinjaman yang gagal bayar.

“Dengan adanya agunan ini tentu saja penyelenggara punya instrumen yang bisa digunakan untuk recovery jika terjadi wanprestasi dari penerima dana atau borrower, yang selama ini belum terjadi untuk recovery melalui mekanisme tersebut,” kata Agusman menegaskan.

Kinerja Pinjaman Produktif Masih Rentan

Berdasarkan data OJK hingga November 2024, tercatat ada 21 penyelenggara P2P lending yang memiliki rasio TWP90 (tingkat wanprestasi 90 hari) di atas 5%, dan mayoritas dari mereka merupakan pemain yang fokus pada pendanaan produktif. Meskipun secara total, penyaluran ke sektor produktif hanya menyumbang sekitar 30% dari total pembiayaan, namun justru segmen ini mencatat rasio gagal bayar yang lebih tinggi dibanding pinjaman konsumtif.

Pandangan Ekonom: Risiko Pinjaman Produktif Masih Tinggi

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengamini bahwa sektor produktif saat ini memang menghadirkan risiko yang lebih tinggi bagi lender. Menurutnya, data menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan ke badan usaha cenderung memiliki tingkat kegagalan yang lebih besar.

“Dilihat dari data, penyaluran kredit ke badan usaha (sektor produktif) memiliki gagal bayar lebih tinggi. Jadi memang tidak menguntungkan untuk meminjamkan uangnya ke sektor produktif saat ini,” ungkap Huda.

Ia menilai, aturan agunan dari OJK bisa menjadi salah satu solusi, meski tetap perlu ada peningkatan dalam sistem penilaian kelayakan peminjam agar risiko dapat ditekan sedari awal.

Dorong Disiplin dan Profesionalisme Penyelenggara Fintech

Kewajiban agunan ini juga diharapkan dapat mendorong para penyelenggara fintech untuk lebih selektif dan profesional dalam menyalurkan dana, terutama yang berisiko tinggi. Penyelenggara diharapkan tidak hanya mengejar volume pinjaman, tetapi juga fokus pada kualitas portofolio kredit.

Langkah ini juga sejalan dengan upaya OJK meningkatkan tata kelola industri fintech yang selama ini masih tumbuh dengan dinamika yang cepat namun kurang terstandar dalam hal mitigasi risiko.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index