JAKARTA – Keputusan mengejutkan datang dari Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, yang resmi memberhentikan pelatih Timnas Indonesia Shin Tae-yong (STY). Langkah ini menuai reaksi keras dari publik, mengingat STY dinilai sebagai sosok penting dalam membawa Garuda ke level internasional. Namun, Erick tetap melangkah dengan menunjuk legenda sepak bola Belanda, Patrick Kluivert, sebagai pengganti. Langkah tersebut memperlihatkan keberanian Erick mengambil risiko tinggi demi visi besar: mengantar Indonesia ke Piala Dunia 2026.
Pemecatan STY dinilai sebagai langkah kontroversial, mengingat pelatih asal Korea Selatan itu tengah berada di puncak popularitas usai membawa Timnas meraih hasil-hasil positif. Pengamat menilai, Erick sebenarnya bisa memilih jalan aman dengan menunggu hasil pertandingan melawan Australia dan Bahrain pada Maret 2025 sebelum mengambil keputusan.
Namun, Erick justru mengambil langkah lebih cepat dengan dalih munculnya “dinamika hubungan” antara pelatih dan pemain yang dianggap tidak kondusif.
“Saya melihat ada dinamika yang tidak sehat antara pelatih dan pemain. Kami harus ambil langkah untuk meningkatkan peluang lolos ke Piala Dunia 2026,” ujar Erick Thohir seperti dikutip dari pernyataan resminya.
Mengambil Risiko Demi Visi Besar
Langkah Erick Thohir ini mencerminkan karakter pemimpin pengambil risiko (risk-taking leader), seperti yang diulas Howard Gardner dalam bukunya Leading Minds. Gardner menyebut bahwa pemimpin visioner adalah mereka yang berani menantang status quo demi visi besar, meskipun situasi penuh ketidakpastian.
Keputusan Erick menunjuk Patrick Kluivert – mantan striker timnas Belanda dan eks pelatih tim muda Ajax serta asisten pelatih di beberapa klub top Eropa – menunjukkan keberanian untuk mengubah pendekatan Timnas secara drastis. Terlebih, sebagian besar pemain Timnas saat ini merupakan pemain naturalisasi asal Belanda, sehingga pengalaman Kluivert diharapkan bisa mempercepat adaptasi taktik dan strategi.
“Keputusan ini kami ambil untuk membangun fondasi jangka panjang dan pendek yang lebih kuat. Kami ingin memaksimalkan potensi para pemain, termasuk mereka yang berlatar belakang Eropa,” ujar Erick.
Risiko Besar di Tengah Harapan Tinggi
Keputusan ini jelas bukan tanpa risiko. STY dikenal memiliki ikatan emosional kuat dengan para pemain dan suporter, dan dianggap berhasil mengangkat mentalitas juang Timnas. Banyak pihak menilai bahwa pemecatan STY terlalu dini dan bisa mengganggu stabilitas tim.
Meski begitu, Erick memilih mengambil risiko demi mempercepat proses transformasi. Dalam teori Gardner, ini disebut sebagai adaptive risk-taking, yakni keberanian mengubah strategi saat pendekatan lama dianggap tidak lagi efektif. STY disebut mengalami kesulitan membangun hubungan yang harmonis dengan pemain naturalisasi asal Belanda karena perbedaan kultur dan pendekatan.
Erick juga disebut memiliki alasan strategis bahwa pelatih baru dengan pendekatan lebih demokratis dan inklusif akan lebih efektif dalam menyatukan kekuatan pemain lokal dan naturalisasi.
“Kami butuh pendekatan berbeda. Ini saatnya membangun chemistry tim yang lebih dinamis dan berorientasi pada prestasi global,” katanya.
Antara Harapan dan Ancaman
Meski langkah ini menunjukkan keberanian dan visi jangka panjang, Erick harus siap menghadapi potensi kegagalan jika hasil yang diharapkan tidak tercapai. Tekanan dari publik, media, dan komunitas sepak bola akan semakin besar jika performa Timnas memburuk.
Gardner dalam kajiannya juga menyebut bahwa pemimpin visioner harus memiliki empati tinggi, terutama dalam menghadapi kritik dan menjaga kepercayaan publik. Erick menyadari bahwa langkah ini bisa mengorbankan popularitasnya, namun ia percaya bahwa perubahan ini akan berdampak besar dalam jangka panjang.
“Saya tahu ini bukan keputusan populer. Tapi saya yakin, untuk membawa Timnas ke level dunia, kita harus berani membuat perubahan besar,” tegasnya.
Butuh Dukungan Publik dan Strategi Jelas
Keberhasilan keputusan ini sangat tergantung pada efektivitas komunikasi Erick Thohir dengan publik dan tim. Penunjukan Patrick Kluivert harus dibarengi dengan perencanaan matang, pelatihan yang efisien, dan strategi pengembangan pemain yang berkelanjutan. Tanpa itu semua, transformasi yang diimpikan bisa berbalik menjadi bumerang.
Namun, jika langkah ini berhasil membawa Timnas tampil di Piala Dunia 2026, maka Erick Thohir akan dikenang sebagai arsitek kebangkitan sepak bola Indonesia di panggung dunia. Keputusan berani ini berpotensi menciptakan momentum sejarah baru bagi Garuda, sekaligus mencerminkan kualitas kepemimpinan modern yang berani mengambil risiko demi masa depan.