PETANI

Petani Kalimantan Barat Beralih ke Pertanian Ramah Lingkungan untuk Mengatasi Dampak Pemanasan Global

Petani Kalimantan Barat Beralih ke Pertanian Ramah Lingkungan untuk Mengatasi Dampak Pemanasan Global
Petani Kalimantan Barat Beralih ke Pertanian Ramah Lingkungan untuk Mengatasi Dampak Pemanasan Global

JAKARTA - Krisis lingkungan global semakin mengkhawatirkan, dengan pemanasan global sebagai salah satu penyebab utama dampak perubahan iklim yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Salah satu penyebab utama pemanasan global adalah praktik pembakaran hutan dan penggunaan pupuk kimia yang tidak ramah lingkungan. Hal ini tidak hanya mempengaruhi kualitas udara, tetapi juga berkontribusi pada banjir dan penurunan kesuburan tanah. Keprihatinan ini dirasakan oleh petani di daerah Darma Putra, yang tergabung dalam Badan Usaha Milik Rukun Tetangga (BUMRW) 33 Pontianak Utara, yang kini beralih ke konsep pertanian ramah lingkungan.

Dampak Negatif Pembakaran Lahan pada Pertanian dan Lingkungan

Di tahun 2015, banyak petani di Pontianak, termasuk yang tergabung dalam BUMRW 33, mengadopsi metode pertanian tradisional dengan membakar lahan untuk membuka kawasan pertanian baru. Namun, seperti yang diungkapkan Ketua BUMRW 33, Irwan, cara ini justru memberikan dampak buruk bagi lingkungan dan keberlanjutan pertanian mereka. "Jangankan kayu besar, kayu kecil saja habis dibakar. Pada akhirnya, banyak lahan yang terbengkalai dan tidak produktif," ujarnya saat diwawancarai pada Senin.

Pembakaran massal lahan yang terjadi pada 2015 meninggalkan dampak serius, termasuk banjir yang mulai terjadi pada tahun 2024. Seiring berkurangnya daya serap air akibat gundulnya hutan, banjir menjadi ancaman nyata bagi petani. "Pada 2024, kami merasakan dampak besar dari banjir yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Walaupun banjir tidak sampai masuk rumah, kami merasakan dampaknya yang sangat mengganggu aktivitas kami," tambah Irwan. Kondisi ini mendorong petani untuk mencari alternatif yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Mengubah Praktik Pertanian: Menuju Ramah Lingkungan

Pendidikan dan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan membawa perubahan besar di kalangan petani. Sejak tahun 2019, Irwan dan kelompok tani BUMRW 33 mulai mengadopsi konsep pertanian ramah lingkungan, yang mengutamakan pengolahan lahan tanpa pembakaran dan penggunaan pupuk organik. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kerusakan lingkungan akibat pembakaran dan penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.

Irwan menjelaskan, "Kami mulai membuka lahan tanpa bakar sejak 2019, dan kami menggunakan pupuk organik serta mengolah sisa tanaman menjadi kompos. Ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga menjaga kelestarian tanah kami." Dengan menggunakan metode ini, para petani di BUMRW 33 dapat mengelola sekitar 30 persen dari total 178 hektare lahan gambut yang ada, tanpa membakar atau merusak ekosistem sekitar.

Keberhasilan konsep pertanian ramah lingkungan ini menjadikan BUMRW 33 sebagai role model pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan, bahkan di tengah kota Pontianak. Lahan pertanian ini tidak hanya menyediakan hasil holtikultura untuk memenuhi kebutuhan kota, tetapi juga mampu mengirimkan produk pertanian ke luar Kalimantan Barat.

Kontribusi terhadap Lingkungan dan Ekonomi Berkelanjutan

Penerapan pertanian ramah lingkungan juga mendukung implementasi kebijakan pemerintah, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Dengan beralih ke pertanian organik, petani tidak hanya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga berkontribusi dalam mencapai ekonomi berkelanjutan.

"Sebelumnya, kami menggunakan 100 persen pupuk kimia untuk tanaman hortikultura, namun sejak 2019, kami mulai mengurangi penggunaan pupuk kimia. Sekarang, sekitar 70 persen pupuk yang kami gunakan adalah pupuk organik," jelas Irwan. Keputusan untuk beralih ke pupuk organik tidak hanya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga memberikan keuntungan finansial, karena penggunaan pupuk organik jauh lebih murah dibandingkan dengan pupuk kimia.

Penggunaan pupuk organik, yang dibuat dari limbah tanaman seperti daun pepaya, serai, dan kedebong pisang, membantu menjaga kesuburan tanah. Irwan juga mengungkapkan bahwa penggunaan pupuk kimia sebelumnya menyebabkan penurunan kualitas tanah yang signifikan. "Dulu, dalam beberapa tahun saja, tanah kami bisa turun hingga 40 cm akibat penggunaan kimia. Tapi sekarang, dengan penggunaan organik, penurunan tanah hanya sekitar 10 cm dalam beberapa tahun," ujarnya.

Meningkatkan Kesejahteraan Petani melalui Inovasi Ramah Lingkungan

Keberhasilan pertanian ramah lingkungan ini tidak hanya menguntungkan petani dari segi biaya, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan mereka. Irwan menekankan bahwa konsep pertanian ini memberikan dampak positif terhadap kualitas hidup petani, baik dalam hal penghematan biaya maupun peningkatan hasil pertanian. "Dengan tidak menggunakan pupuk kimia, kami bisa menekan biaya produksi dan mendapatkan hasil yang sama, bahkan sayuran kami lebih sehat dan lebih berkualitas," tambahnya.

Keberhasilan BUMRW 33 dalam menerapkan pertanian ramah lingkungan kini menjadi contoh bagi petani di kawasan lain. Hal ini juga membuktikan bahwa dengan mengutamakan prinsip keberlanjutan, sektor pertanian dapat terus berkembang tanpa merusak lingkungan. Irwan berharap, lebih banyak petani yang akan mengikuti langkah mereka dalam mengelola lahan pertanian secara ramah lingkungan demi masa depan yang lebih baik.

"Dengan mengompos sisa tanaman dan menggunakan pupuk organik, kami bisa menjaga tanah tetap subur dan mengurangi kerugian yang selama ini kami rasakan akibat penggunaan kimia dan pembakaran lahan," pungkas Irwan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index