JAKARTA – Harga minyak global mencatat penurunan signifikan pada penutupan perdagangan Rabu, menjadi yang terburuk secara bulanan dalam hampir tiga setengah tahun terakhir. Anjloknya harga disebabkan oleh sinyal dari Arab Saudi yang membuka kemungkinan peningkatan produksi, di tengah kekhawatiran terhadap melemahnya permintaan global akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China.
Menurut laporan Reuters, harga minyak mentah Brent turun sebesar US$ 1,13 atau 1,76 persen ke level US$ 63,12 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) anjlok lebih tajam sebesar US$ 2,21 atau 3,66 persen, menjadi US$ 58,21 per barel. Ini merupakan posisi penutupan terendah untuk WTI sejak Maret 2021.
Secara bulanan, harga Brent mencatat penurunan sebesar 15 persen, sementara WTI merosot lebih dalam hingga 18 persen. Ini menandai penurunan persentase bulanan terbesar sejak November 2021.
Arab Saudi Siap Tingkatkan Produksi, Pasar Cemas
Penurunan harga ini semakin diperparah oleh sinyal dari Arab Saudi, salah satu eksportir minyak terbesar dunia, yang mengindikasikan kesiapan untuk meningkatkan produksi. Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk memperluas kembali pangsa pasar, meskipun berisiko memperparah kondisi oversupply global.
“Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kita mungkin sedang menuju perang produksi baru. Apakah Arab Saudi sedang mengirim sinyal bahwa mereka ingin merebut kembali pangsa pasar? Kita tunggu saja,” kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.
Pernyataan tersebut mencerminkan sentimen pasar yang mulai khawatir akan kembalinya strategi agresif produksi yang sebelumnya sempat dihindari oleh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya (OPEC+).
Awal April 2025 lalu, Arab Saudi telah mendorong peningkatan produksi dalam kelompok OPEC+, melebihi rencana awal yang disepakati untuk bulan Mei. Bahkan, menurut sumber Reuters, sejumlah anggota OPEC+ akan kembali mengusulkan kenaikan produksi dalam pertemuan yang dijadwalkan pada 5 Mei mendatang.
Permintaan Global Tertekan oleh Perang Dagang
Di sisi lain, kekhawatiran terhadap permintaan minyak global juga meningkat seiring dengan eskalasi perang dagang antara dua negara ekonomi terbesar dunia. Presiden AS Donald Trump pada 2 April mengumumkan penerapan tarif untuk seluruh impor ke Amerika Serikat, yang kemudian dibalas oleh China dengan kebijakan bea masuk serupa.
Kebijakan ini mengganggu aktivitas perdagangan dan perjalanan internasional, dua sektor yang sangat bergantung pada konsumsi energi. Analis strategi investasi dari Raymond James, Pavel Molchanov, menyebut bahwa “Perang dagang secara langsung memangkas permintaan minyak dan menghambat mobilitas konsumen. Dikombinasikan dengan pelonggaran pemangkasan produksi OPEC, risiko kelebihan pasokan pun meningkat.”
Kondisi ini diperburuk dengan data ekonomi terbaru dari Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa ekonomi mengalami kontraksi pada kuartal I-2025, terutama disebabkan lonjakan impor barang sebelum kenaikan tarif diberlakukan. Survei Reuters memperkirakan bahwa kebijakan tarif Trump bisa membawa ekonomi global menuju resesi tahun ini.
Indeks kepercayaan konsumen AS pun jatuh ke titik terendah dalam hampir lima tahun, menandakan bahwa ketidakpastian ekonomi sudah mulai dirasakan di tingkat rumah tangga.
Stok Minyak AS Menurun, Tapi Tak Cukup Angkat Harga
Meskipun harga minyak mendapat sedikit dorongan dari data penurunan stok minyak mentah di Amerika Serikat, hal ini belum mampu mengimbangi tekanan fundamental lainnya. Badan Informasi Energi AS (EIA) melaporkan bahwa persediaan minyak mentah turun sebesar 2,7 juta barel menjadi 440,4 juta barel pada pekan yang berakhir 25 April.
Penurunan ini mengejutkan pasar, mengingat sebelumnya analis memperkirakan akan terjadi peningkatan sebesar 429 ribu barel. Namun, data tersebut tetap tidak cukup kuat untuk mendorong harga minyak ke zona positif, mengingat tekanan dari sisi produksi dan permintaan jauh lebih dominan.
Outlook Harga Masih Gelap
Dengan tekanan dari berbagai sisi, mulai dari kebijakan produksi Arab Saudi hingga tensi geopolitik dan perang dagang, prospek harga minyak dalam waktu dekat masih dibayangi ketidakpastian.
Pasar kini menanti hasil pertemuan OPEC+ pada 5 Mei mendatang, yang kemungkinan akan menjadi penentu arah kebijakan produksi untuk bulan-bulan selanjutnya. Jika kelompok ini sepakat menaikkan produksi secara signifikan, harga minyak bisa terus bergerak turun.
Sementara itu, pelaku pasar dan investor global terus memantau perkembangan perang dagang AS–China serta indikator ekonomi utama dari negara-negara konsumen energi terbesar dunia. Apabila kondisi global terus memburuk, skenario resesi bisa menjadi kenyataan dan memperdalam koreksi harga minyak mentah.