JAKARTA — Di tengah ketidakpastian harga komoditas pertanian, seorang petani nilam asal Aceh Barat, Hafrizal, membuktikan bahwa budidaya tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) tetap menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Pria yang akrab disapa Toke Thoe ini sukses meraup keuntungan signifikan dari hasil budidaya dan pengolahan daun nilam menjadi minyak atsiri berkualitas tinggi.
Saat ini, minyak atsiri hasil olahan daun nilam dijual kepada agen penampung dengan harga berkisar Rp1.350.000 hingga Rp1.400.000 per kilogram. Meski harga tersebut mengalami penurunan dari masa keemasannya yang sempat menyentuh Rp2 juta per kilogram, Hafrizal tetap menunjukkan sikap optimistis terhadap prospek komoditas ini.
"Meskipun harga turun, saya tetap semangat. Nilam ini bisa disimpan lama, jadi tetap menguntungkan," ujar Hafrizal.
Nilam: Komoditas Tahan Lama yang Menjanjikan
Salah satu keunggulan utama minyak nilam adalah ketahanannya. Menurut Hafrizal, minyak atsiri dari daun nilam bisa disimpan hingga 50 tahun tanpa mengurangi kualitas atau aromanya. Daya tahan ini menjadi kelebihan besar yang membuat nilam tetap menarik sebagai komoditas ekspor di tengah volatilitas harga pasar.
"Nilam ini seperti emas cair. Disimpan bertahun-tahun tetap bernilai tinggi. Ini keunggulan yang tidak dimiliki banyak komoditas lain," tambah Hafrizal.
Selain itu, permintaan pasar internasional terhadap minyak atsiri nilam tetap kuat. Produk ini banyak digunakan dalam berbagai industri, seperti parfum, kosmetik, hingga farmasi. Pasar global yang luas ini menjadi faktor penting yang mendorong Hafrizal dan rekan-rekan petaninya untuk terus mengembangkan budidaya nilam di Aceh Barat.
Strategi Budidaya Nilam: Panen Dua Kali dalam Satu Siklus
Dalam praktiknya, budidaya tanaman nilam dinilai cukup efisien. Hafrizal menjelaskan bahwa sekali menanam nilam, petani dapat memanen dua kali. Panen pertama dilakukan sekitar enam bulan setelah masa tanam, sementara panen kedua bisa dilakukan tiga bulan setelah panen pertama.
Setelah dipanen, daun nilam kemudian diolah melalui proses penyulingan. Metode ini melibatkan pemanasan daun menggunakan uap air untuk mengekstrak minyak atsiri yang terkandung di dalamnya. Teknik tradisional ini terus digunakan karena mampu mempertahankan kualitas minyak yang dihasilkan.
"Proses penyulingan ini memang butuh ketelatenan, tapi hasilnya sangat sepadan. Minyak yang dihasilkan berkualitas tinggi dan disukai pasar," ungkap Hafrizal.
Harapan untuk Dukungan Pemerintah
Meski sukses secara mandiri, Hafrizal berharap pemerintah daerah lebih memperhatikan potensi besar yang dimiliki sektor nilam di Aceh Barat. Menurutnya, dukungan berupa pelatihan teknik budidaya modern, bantuan alat penyulingan, hingga akses pembiayaan dapat membantu meningkatkan produktivitas petani nilam.
"Kami berharap ada perhatian lebih dari pemerintah agar sektor ini bisa berkembang lebih pesat dan memberikan kontribusi nyata untuk perekonomian daerah," kata Hafrizal.
Peningkatan sektor nilam dinilai dapat memperkuat ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja baru, serta meningkatkan nilai ekspor daerah Aceh Barat.
Masa Depan Cerah Komoditas Nilam
Dengan daya tahan produk yang kuat, permintaan pasar internasional yang stabil, serta potensi untuk meningkatkan kesejahteraan petani, budidaya nilam di Aceh Barat memiliki prospek cerah. Hafrizal menjadi contoh nyata bagaimana komitmen terhadap pertanian lokal dapat menghasilkan keuntungan finansial sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis komunitas.
Semangat Hafrizal juga menjadi inspirasi bagi petani lainnya untuk tidak menyerah, meskipun harga pasar saat ini belum terlalu menggembirakan.
"Budidaya nilam ini investasi jangka panjang. Ketika harga naik lagi, yang terus bertahan akan memetik hasilnya," pungkas Hafrizal optimistis.
Dengan potensi besar yang dimiliki tanaman nilam, Aceh Barat berpeluang menjadi salah satu sentra produksi minyak atsiri terbaik di Indonesia, bahkan dunia, apabila didukung kebijakan pemerintah yang tepat sasaran.