JAKARTA – Industri penerbangan global tengah menghadapi tekanan besar untuk menurunkan emisi karbon dan mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050. Salah satu solusi utama yang kini menjadi sorotan adalah transisi dari bahan bakar fosil menuju penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF) yang ramah lingkungan.
SAF atau bahan bakar penerbangan berkelanjutan diproyeksikan mampu memangkas emisi karbon dioksida (CO₂) hingga 718 Mega Ton pada 2050. Selain ramah lingkungan, SAF juga dinilai bisa menjawab permintaan pasar global yang diprediksi mencapai 449 miliar liter per tahun.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan potensi besar dalam pengembangan SAF. Ketersediaan sumber daya alam terbarukan seperti minyak sawit, minyak jelantah, dan limbah pertanian menjadikan Tanah Air sebagai calon pemain utama dalam rantai pasok bahan bakar ramah lingkungan ini.
Pemerintah Siapkan Strategi Lewat Tiga Pilar Utama
Pemerintah Indonesia telah menyusun peta jalan pengembangan SAF yang berfokus pada tiga pilar strategis: dekarbonisasi sektor penerbangan, kedaulatan energi, dan penciptaan nilai ekonomi.
Pertama, SAF diharapkan dapat secara signifikan mengurangi emisi karbon dari sektor aviasi, mendukung target pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah dicanangkan baik secara nasional maupun internasional.
Kedua, pemanfaatan bahan baku domestik akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar fosil serta memperkuat kemandirian energi nasional.
Ketiga, pengembangan SAF akan membuka peluang ekonomi baru. Dengan hilirisasi bahan baku, peluang ekspor, hingga peningkatan investasi di sektor energi terbarukan, SAF dapat menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi hijau.
Kendala Produksi SAF dan Upaya Riset Alternatif
Meski memiliki potensi besar, produksi SAF di Indonesia belum berjalan maksimal. Hingga kini, metode produksi yang digunakan sebagian besar masih mengandalkan teknologi Hydro-processed Esters and Fatty Acids (HEFA) dengan bahan baku utama Palm Kernel Oil (PKO).
Namun, penggunaan PKO menuai tantangan tersendiri karena aspek keberlanjutan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan dari industri kelapa sawit.
Untuk itu, pemerintah bersama lembaga riset dan sektor swasta tengah mengembangkan bahan baku alternatif. Dua di antaranya adalah minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO) dan Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), yang dianggap lebih berkelanjutan karena berasal dari limbah rumah tangga dan produk sampingan industri sawit.
SAF dan Komitmen Lingkungan Lewat Life Cycle Assessment (LCA)
Keberhasilan transisi ke SAF tidak hanya diukur dari kemampuan mengurangi emisi, tetapi juga dari penerapan prinsip keberlanjutan dalam seluruh siklus produksinya. Untuk itu, pendekatan Life Cycle Assessment (LCA) menjadi sangat penting.
Metodologi LCA memungkinkan pengukuran dampak lingkungan dari hulu ke hilir—mulai dari ekstraksi bahan baku hingga penggunaan dan pembuangan akhir. Hal ini penting untuk memastikan bahwa seluruh proses produksi SAF tidak meninggalkan jejak karbon baru yang merusak lingkungan.
“Integrasi LCA dalam pengambilan keputusan akan memastikan industri penerbangan bergerak menuju masa depan yang lebih hijau,” ujar Arif Rahman, peneliti pascadoktoral di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) periode 2023–2025.
Dengan pendekatan LCA, pelaku industri dapat mengidentifikasi metode produksi SAF yang paling efisien dan ramah lingkungan. Selain itu, LCA memberikan dasar ilmiah bagi penyusunan regulasi dan kebijakan serta menjadi referensi penting dalam menarik investasi teknologi bersih.
Tantangan Penerapan LCA
Meski memiliki banyak manfaat, penerapan LCA di Indonesia masih menghadapi kendala signifikan. Beberapa di antaranya mencakup keterbatasan data yang akurat, kompleksitas rantai pasok bahan baku, serta tingginya biaya dan waktu analisis.
Selain itu, hingga kini belum ada standar dan regulasi nasional yang mengatur secara rinci penerapan LCA dalam industri bahan bakar penerbangan.
Namun, dengan komitmen yang kuat dari pemerintah, kolaborasi antar pemangku kepentingan, dan investasi dalam penelitian, Indonesia diyakini mampu mengatasi hambatan ini dan menjadi pemimpin dalam pasar SAF global.
Menuju Net Zero Emission 2050
Langkah Indonesia dalam pengembangan SAF adalah bagian dari kontribusi nyata terhadap pengurangan emisi global. Dengan memanfaatkan potensi bahan baku dalam negeri dan menerapkan teknologi yang berkelanjutan, Indonesia tidak hanya memperkuat posisinya di sektor aviasi internasional, tetapi juga mendukung upaya kolektif dunia untuk mengatasi krisis iklim.
Ke depan, SAF bukan hanya soal inovasi teknologi, tetapi juga soal visi jangka panjang terhadap lingkungan, energi, dan ketahanan ekonomi.