JAKARTA — Di tengah musim panen padi yang tengah berlangsung di sejumlah daerah di Banyuwangi, para petani justru menghadapi tantangan serius: kelangkaan tenaga kerja buruh tani untuk panen secara manual atau mengarit. Meski alat panen modern semakin banyak tersedia, kondisi geografis dan struktur lahan sawah membuat petani tetap mengandalkan cara tradisional yang kini sulit dijalankan karena minimnya buruh.
Madrus (50), seorang buruh tani asal Dusun Kunir, Desa/Kecamatan Singojuruh, mengungkapkan bahwa semakin hari makin sulit mencari orang yang mau mengarit padi secara manual. Meskipun pekerjaan ini masih dibutuhkan, terutama di lokasi yang tidak bisa dijangkau mesin panen, banyak orang—khususnya generasi muda—enggan terjun ke profesi ini.
“Banyak alasan petani lebih senang menggunakan cara manual. Salah satunya karena sawahnya sulit dijangkau alat, atau karena tanaman padinya roboh dan tidak bisa dipanen pakai mesin,” jelas Madrus saat ditemui di area persawahan Dusun Krajan, Desa Mangir, Kecamatan Rogojampi.
Mesin Panen Tak Selalu Efektif, Buruh Tetap Dibutuhkan
Mesin panen modern memang menjadi solusi di banyak wilayah. Namun, tidak semua petani bisa mengaksesnya, terutama karena biaya operasionalnya yang tinggi dan kondisi sawah yang tidak mendukung.
“Kalau tanaman padinya ambruk atau sawahnya becek dan sempit, mesin panen tidak bisa masuk. Jadi tetap butuh tenaga buruh ngarit,” ujar Madrus.
Dalam kondisi seperti itu, para petani pun tetap menggantungkan harapan kepada buruh tani seperti Madrus. Ia mengaku kerap mendapatkan panggilan kerja dari luar daerahnya karena di banyak tempat, petani mengalami kesulitan mencari tenaga kerja panen.
“Saya sering dapat job di luar kecamatan karena petaninya bilang sudah susah cari orang yang mau mengarit padi,” katanya.
Upah Buruh Tani Tinggi, Tapi Minim Peminat
Ironisnya, meskipun upah buruh tani terbilang tinggi, pekerjaan ini tetap minim peminat. Madrus menyebut bahwa dalam sehari dirinya bisa memperoleh hingga Rp300 ribu, tergantung pada sistem upah yang digunakan.
“Kalau borongan seperempat hektare bisa dapat Rp350 ribu. Kalau pakai sistem per karung, biasanya Rp50 ribu per karung. Semakin cepat dan banyak yang dikerjakan, uangnya juga makin banyak,” tambahnya.
Hal senada disampaikan Suaimah (48), buruh tani perempuan asal Dusun Kunir. Ia juga mengakui bahwa pekerjaan sebagai buruh ngarit padi masih menjanjikan secara penghasilan, namun kini semakin jarang generasi muda yang mau melakoninya.
“Sekarang banyak anak muda tidak mau kerja di sawah. Mereka lebih memilih merantau ke Bali atau keluar negeri,” ujarnya.
Suaimah bahkan mengaku sering kewalahan menerima tawaran kerja karena jumlah permintaan dari petani yang membutuhkan buruh panen jauh lebih tinggi daripada ketersediaan tenaga kerja.
“Saya sering kerja di luar kecamatan, seperti di Desa Tapanrejo, Kecamatan Muncar. Karena banyak petani di sana juga mengeluh kesulitan cari buruh,” katanya.
Dampak Jangka Panjang dan Kebutuhan Inovasi
Kelangkaan buruh tani, jika tidak segera ditangani, dikhawatirkan bisa mengganggu produktivitas pertanian lokal. Di sisi lain, biaya untuk mengoperasikan alat pertanian modern juga belum terjangkau bagi sebagian besar petani kecil.
Pemerintah daerah dan dinas pertanian perlu segera mencari solusi jangka panjang, termasuk dengan memberikan pelatihan penggunaan alat panen modern, subsidi alat panen untuk kelompok tani, serta mendorong program padat karya yang bisa memberdayakan pemuda desa.
Tak hanya itu, kampanye revitalisasi sektor pertanian sebagai profesi yang menjanjikan juga penting untuk mengubah pola pikir generasi muda. Jika tidak, ketergantungan pada segelintir buruh tani manual seperti Madrus dan Suaimah akan membuat panen semakin tidak efisien di masa mendatang.