Panas Bumi

Pemerintah Targetkan Flores Jadi Pulau Panas Bumi, Proyek Strategis Hadapi Tantangan Sosial

Pemerintah Targetkan Flores Jadi Pulau Panas Bumi, Proyek Strategis Hadapi Tantangan Sosial
Pemerintah Targetkan Flores Jadi Pulau Panas Bumi, Proyek Strategis Hadapi Tantangan Sosial

JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Flores, Nusa Tenggara Timur, sebagai kandidat utama untuk dikembangkan menjadi Pulau Panas Bumi (Geothermal Island). Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya transisi energi nasional sekaligus untuk mengurangi ketergantungan wilayah Flores terhadap bahan bakar minyak (BBM), khususnya diesel.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, menyatakan bahwa pemanfaatan potensi panas bumi di Flores merupakan pilihan paling realistis dalam mengembangkan energi bersih di wilayah tersebut.

“Mudah-mudahan, Flores itu Insya Allah bisa kita jadikan Geothermal Island, jadi di situ panas buminya luar biasa,” ujar Eniya dalam konferensi pers The 11th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition (IIGCE) 2025.

Menurut Eniya, dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), panas bumi menjadi satu-satunya alternatif energi terbarukan yang memungkinkan diterapkan secara luas di Flores. Hal ini disebabkan kondisi geografis dan iklim Flores yang kering dan panas, sehingga tidak mendukung pengembangan PLTA. Sementara itu, PLTS membutuhkan lahan sangat luas untuk bisa menggantikan konsumsi listrik berbasis diesel yang tinggi.

“Satu-satunya anugerah dari alam (yang bisa dimanfaatkan) itu panas bumi,” tambahnya.

Subsidi Diesel Capai Rp 1 Triliun per Tahun

Selain alasan teknis dan potensi energi, proyek panas bumi juga dinilai penting dari segi ekonomi. Menurut data Kementerian ESDM, subsidi BBM di Flores mencapai sekitar Rp 1 triliun per tahun. Jumlah ini dianggap membebani keuangan negara dan tidak efisien secara jangka panjang.

“Itu untuk Flores saja, sekecil itu. Inilah yang mendorong kami untuk bisa menggolkan proyek panas bumi di Flores,” jelas Eniya.

Sejumlah proyek panas bumi sudah dikembangkan di Flores, seperti PLTP Mataloko di Kabupaten Ngada, serta proyek Poco Leok dan Wae Sano yang masih dalam tahap perencanaan. Penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi sendiri telah dituangkan dalam SK Menteri ESDM No. 2268 K/30/MEM/2017.

Namun, di balik semangat pemerintah dalam mendorong transisi energi, terdapat tantangan sosial yang tidak bisa diabaikan.

Proyek Hadapi Penolakan Warga dan Kelompok Adat

Pengembangan panas bumi di Flores tidak sepenuhnya berjalan mulus. Penolakan datang dari berbagai elemen masyarakat, termasuk organisasi adat dan kelompok gereja lokal. Mereka menyuarakan kekhawatiran atas dampak lingkungan dan sosial dari proyek panas bumi di wilayah mereka.

Sejumlah aksi protes telah berlangsung dalam beberapa bulan terakhir, sebagai bentuk penolakan terhadap proyek-proyek panas bumi yang dianggap mengancam ruang hidup masyarakat adat dan menimbulkan kerusakan ekosistem.

Eniya tidak menampik adanya resistensi terhadap proyek ini. Ia menyebut bahwa pemerintah terus melakukan pendekatan dialogis dengan masyarakat dan tokoh lokal. Salah satu bentuk upaya yang dilakukan adalah menjalin komunikasi dengan Keuskupan Ende serta para pelaku industri terkait, seperti PT Sokoria Geothermal Indonesia, PT PLN, dan PT Daya Mas Geopatra Energi.

“Memang ada sedikit masalah, kami mengakui,” tutur Eniya.

Ia menyampaikan bahwa pihaknya bersama Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung berencana untuk melakukan kunjungan langsung ke Nusa Tenggara Timur dalam waktu dekat guna memperkuat komunikasi dan mencari solusi bersama atas keberatan yang disampaikan masyarakat.

Perlu Pendekatan Sosial dan Transparansi

Pengamat energi terbarukan menilai bahwa proyek panas bumi di Flores hanya akan sukses jika pemerintah mampu membangun kepercayaan publik melalui pendekatan yang inklusif dan transparan. Selain itu, pelibatan masyarakat adat sejak tahap perencanaan proyek dianggap kunci untuk mencegah konflik berkepanjangan.

Dalam konteks transisi energi, Flores dinilai bisa menjadi contoh penting penerapan energi hijau di daerah terpencil. Namun, keberhasilan proyek ini bukan hanya soal teknologi dan pendanaan, tetapi juga seberapa baik pemerintah mengelola relasi sosial dengan masyarakat setempat.

Jika proyek ini berhasil dijalankan dengan baik dan mendapat dukungan dari masyarakat, maka Flores berpotensi menjadi model nasional untuk pengembangan energi panas bumi secara berkelanjutan. Sebaliknya, jika konflik sosial terus terjadi, maka proyek ini bisa menjadi preseden buruk bagi pengembangan energi terbarukan di wilayah lainnya.

Dengan potensi panas bumi yang melimpah dan kebutuhan energi bersih yang semakin mendesak, masa depan Flores sebagai Geothermal Island kini berada di persimpangan antara kemajuan teknologi dan penerimaan masyarakat lokal.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index