Minyak

Harga Minyak Dunia Melonjak Tajam, AS Ancam Hentikan Ekspor Minyak Iran Demi Tekan Program Nuklir

Harga Minyak Dunia Melonjak Tajam, AS Ancam Hentikan Ekspor Minyak Iran Demi Tekan Program Nuklir
Harga Minyak Dunia Melonjak Tajam, AS Ancam Hentikan Ekspor Minyak Iran Demi Tekan Program Nuklir

JAKARTA – Harga minyak dunia melonjak signifikan pada penutupan perdagangan Jumat (11/4), setelah Amerika Serikat (AS) mengisyaratkan akan menghentikan ekspor minyak dari Iran. Langkah ini merupakan bagian dari strategi Washington untuk menekan Teheran agar kembali ke meja perundingan dalam kesepakatan nuklir yang baru.

Mengutip laporan Reuters, harga minyak mentah Brent naik sebesar US$ 1,43 atau 2,26%, menjadi US$ 64,76 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencatatkan kenaikan US$ 1,43 atau 2,38%, menjadi US$ 61,50 per barel.

Peningkatan harga minyak ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah dan memburuknya hubungan dagang antara AS dan China, dua negara dengan pengaruh besar di pasar energi global.

Ancaman Serius dari Washington

Dalam pernyataan resminya, Menteri Energi AS Chris Wright menegaskan bahwa Washington sedang mempertimbangkan penerapan larangan total terhadap ekspor minyak Iran. Menurutnya, kebijakan ini merupakan upaya untuk memaksa Iran menghentikan program nuklirnya dan kembali tunduk pada kesepakatan internasional.

“Pengetatan ekspor minyak Iran secara ketat akan memangkas pasokan global. Namun saya curiga China akan tetap membeli minyak dari Iran,” ujar Andrew Lipow, Presiden Lipow Oil Associates.

Ancaman ini menjadi pemicu utama lonjakan harga minyak global dalam beberapa hari terakhir. Pasar bereaksi terhadap kemungkinan berkurangnya pasokan minyak dunia, khususnya jika larangan ekspor terhadap Iran benar-benar diberlakukan secara penuh oleh Washington.

Dampak Ketidakpastian Geopolitik

Kebijakan luar negeri AS yang semakin agresif turut menambah ketidakpastian pasar minyak dunia. Langkah Washington terhadap Iran dianggap sebagai bagian dari strategi tekanan maksimum yang pernah diterapkan pada masa pemerintahan sebelumnya, namun kini dikemas dengan pendekatan lebih ekstrem.

“Fakta bahwa AS kini menjadi faktor risiko geopolitik adalah hal baru bagi pasar. Kita akan melihat pergeseran peta kekuatan global, mirip seperti pasca invasi Rusia ke Ukraina,” ungkap John Kilduff, mitra di perusahaan manajemen energi Again Capital.

Pernyataan Kilduff menggambarkan perubahan signifikan dalam persepsi pasar terhadap peran AS dalam dinamika geopolitik global. Jika selama ini konflik Timur Tengah dan Rusia menjadi pendorong utama volatilitas harga minyak, kini kebijakan dalam negeri AS juga menjadi faktor risiko tersendiri.

Tensi Dagang AS-China Kembali Memanas

Selain isu Iran, pasar minyak juga dihadapkan pada meningkatnya tensi perang dagang antara AS dan China. Pemerintah China mengumumkan bahwa tarif impor atas produk asal AS akan dinaikkan menjadi 125%, dari sebelumnya 84%, mulai Sabtu (12/4). Kenaikan ini merupakan balasan atas keputusan Presiden AS Donald Trump yang sehari sebelumnya meningkatkan tarif produk asal China hingga 145%.

Langkah balasan ini memperparah ketegangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia dan berpotensi mengganggu permintaan global atas minyak mentah.

Ketidakpastian akibat perang dagang juga menciptakan kekhawatiran atas potensi perlambatan ekonomi global, yang bisa berdampak pada permintaan energi di masa depan. Namun, untuk jangka pendek, kekhawatiran terhadap pasokan tampaknya lebih dominan dibandingkan kekhawatiran terhadap permintaan.

Reaksi Pasar dan Proyeksi Analis

Lonjakan harga minyak ini menandai pembalikan tren dari penurunan harga yang terjadi awal pekan, ketika pasar sempat tertekan oleh kekhawatiran akan permintaan yang melambat akibat ketegangan dagang.

Sebelumnya, harga minyak sempat anjlok lebih dari 3%, terutama setelah muncul kabar bahwa China akan mengurangi pembelian energi dari AS sebagai bentuk protes terhadap kebijakan tarif baru Washington.

Meski demikian, para analis menilai bahwa harga minyak akan tetap volatil dalam beberapa pekan ke depan, seiring perkembangan situasi geopolitik dan perdagangan global.

“Jika AS benar-benar menghentikan ekspor minyak Iran dan China menolak untuk mengikuti, kita akan melihat pasar yang sangat terfragmentasi dengan jalur distribusi energi yang lebih rumit,” kata Lipow.

Implikasi Global

Langkah AS terhadap Iran tidak hanya berdampak pada pasar energi global, tetapi juga dapat memicu instabilitas di kawasan Timur Tengah. Iran merupakan salah satu produsen minyak utama di Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC), dan langkah pembatasan ekspor terhadap negara ini dapat mengganggu keseimbangan pasokan global.

Di sisi lain, negara-negara konsumen energi, termasuk Indonesia, berpotensi mengalami lonjakan biaya impor minyak jika harga terus meningkat dalam waktu yang lama. Hal ini dapat berdampak pada defisit transaksi berjalan dan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Pemerintah Indonesia sebelumnya telah menyatakan tengah menghitung ulang volume impor minyak dan LPG dari AS, namun belum memutuskan apakah akan beralih ke LNG atau diversifikasi pasokan dari negara lain.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index