JAKARTA – Kebijakan tarif dagang terbaru dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memungut bea masuk tambahan sebesar 32% terhadap berbagai komoditas ekspor, menimbulkan kekhawatiran di industri hilir nikel Indonesia. Meskipun komoditas nikel belum secara langsung dikenakan tarif tersebut, pelaku industri tetap menilai risiko efek domino sangat nyata, khususnya bagi lini hilir seperti industri baterai dan stainless steel.
Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno, menyebutkan bahwa dampak tarif dagang ini akan sangat bergantung pada dinamika hubungan perdagangan antara Amerika Serikat dan mitra utamanya, yakni China. Ia menjelaskan bahwa sebagian besar produk nikel Indonesia, terutama yang telah diolah, dikirim ke China untuk diproses lebih lanjut sebelum diekspor kembali ke pasar global, termasuk Amerika Serikat.
“Maka dampaknya tetap terasa secara tidak langsung,” ujar Djoko.
Industri Baterai dan Baja Paling Terpukul
Produk hilir nikel seperti prekursor baterai, baterai kendaraan listrik (EV), hingga baja nirkarat dinilai paling rentan terhadap dampak kebijakan tarif tersebut. Produk-produk ini memiliki tingkat nilai tambah tinggi dan sangat bergantung pada pasar ekspor, khususnya pasar sekunder yang memiliki hubungan dagang kuat dengan AS.
Djoko menyebutkan, apabila China sebagai mitra utama terkena tarif tambahan dari AS, maka kemungkinan besar akan terjadi penurunan permintaan terhadap produk olahan nikel dari Indonesia. Hal ini secara langsung akan memukul daya saing industri hilir Indonesia di pasar global.
“Hal tersebut pada akhirnya membuat produk hilir nikel, khususnya baterai, menjadi kurang kompetitif di pasar AS,” katanya.
APNI mendorong para pelaku industri untuk tidak bergantung pada satu pasar ekspor semata. Menurut Djoko, kondisi ini dapat menjadi momentum untuk mendorong diversifikasi pasar ekspor Indonesia.
“Ini bisa juga menjadi pemicu untuk meningkatkan serapan pasar domestik dan regional, serta mendorong diversifikasi pasar nikel ke India, Uni Eropa, dan lainnya,” ungkap Djoko.
Dampak Terbatas di Sektor Hulu, Tapi Tetap Waspada
Sementara itu, dari sisi hulu atau tambang bijih nikel, Djoko menilai kebijakan tarif AS tidak akan berdampak langsung karena Indonesia telah melarang ekspor bijih nikel sejak tahun 2020. Namun, dampaknya bisa terasa oleh smelter dalam negeri karena penurunan permintaan dari mitra seperti China yang memproses produk antara seperti feronikel, nickel matte, dan NPI (nickel pig iron).
Jika smelter menghadapi penurunan permintaan ekspor, maka pasokan dalam negeri akan meningkat, berpotensi menekan harga jual lokal, dan memperlambat pembangunan fasilitas pengolahan baru.
“Jika negara seperti AS memperluas tarif ke bahan mentah, rencana ekspansi atau investasi perusahaan di hulu bisa terpengaruh. Akan tetapi, ini jarang terjadi karena AS lebih fokus ke produk bernilai tambah,” ujarnya.
Harga Nikel Terus Merosot, Daya Saing Menurun
Dampak dari ketidakpastian global akibat perang tarif ini turut dirasakan di pasar internasional. Harga berjangka nikel di London Metal Exchange (LME) tercatat turun sebesar 0,68% menjadi US$14.084 per ton, jauh dari rekor tertinggi yang sempat menembus US$20.000 per ton pada tahun 2022–2023.
Penurunan harga ini menandakan tekanan besar terhadap daya saing ekspor Indonesia, terutama dari segmen hilir dan antara yang kini tengah bersaing di pasar global yang semakin ketat.
Pemerintah Tetap Tenang, AS Bukan Pasar Utama Nikel RI
Di sisi lain, pemerintah Indonesia meyakini bahwa perang tarif yang dilancarkan AS tidak akan memberikan dampak besar bagi sektor pertambangan domestik. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno.
“Kalau minerba kayaknya enggak terlalu ini. Nikel yang diekspor ke AS cuma sedikit, tidak terlalu. Porsinya kecil,” kata Tri.
Kementerian ESDM melihat bahwa pasar utama ekspor nikel Indonesia tetap berada di kawasan Asia, khususnya China dan negara-negara ASEAN, sehingga dampak langsung dari tarif AS masih terbatas untuk saat ini.
Namun demikian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa Indonesia telah melakukan pendekatan diplomatik untuk mengantisipasi dampak lebih lanjut.
“Indonesia telah melakukan komunikasi dengan United States Trade Representative (USTR) untuk membahas soal tarif resiprokal Trump,” ungkap Airlangga.