JAKARTA - Kebijakan fiskal pemerintah kembali menjadi sorotan, terutama terkait rencana pengenaan bea keluar ekspor batu bara yang telah dua dekade dikecualikan.
Di tengah perubahan dinamika ekonomi global dan penurunan harga komoditas tambang, langkah ini dinilai memiliki timing yang tepat. Pandangan tersebut disampaikan Direktur Eksekutif NEXT Indonesia Center, Christiantoko, yang menilai kebijakan ini sekaligus menjadi respons atas tekanan yang menghampiri sektor batu bara sepanjang tahun.
Rencana pengenaan bea keluar ini tertuang dalam Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Di dalamnya, pemerintah menegaskan strategi memperluas basis penerimaan negara, termasuk terhadap produk emas dan batu bara yang selama bertahun-tahun bebas dari pungutan ekspor.
Dasar Kebijakan dalam RAPBN 2026
Dalam keterangannya di Jakarta, Christiantoko menjelaskan bahwa langkah pemerintah memasukkan batu bara sebagai objek bea keluar bukan muncul secara tiba-tiba. Nota Keuangan RAPBN 2026 secara jelas menyebutkan kebijakan perpajakan dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara secara optimal melalui berbagai instrumen fiskal.
Menurutnya, pemerintah melihat perlunya diversifikasi sumber penerimaan, terutama ketika porsi pendapatan negara dari sektor lain menunjukkan fluktuasi. Pengenaan bea keluar pada komoditas unggulan seperti emas dan batu bara menjadi salah satu opsi yang dinilai relevan dengan kondisi fiskal saat ini.
Christiantoko menekankan bahwa selama 20 tahun terakhir, ekspor batu bara tidak dikenai bea keluar. Dengan perubahan kebijakan ini, negara memiliki peluang untuk memaksimalkan penerimaan, sekaligus memperkuat ruang fiskal dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Sektor Batu Bara Sedang Tertekan
Sudut lain yang membuat momentum kebijakan ini dinilai tepat adalah kondisi sektor batu bara yang tengah mengalami penurunan. Harga komoditas yang terus merosot berdampak pada banyak aspek, termasuk ekspor dan upah pekerja di sektor tersebut.
“Tekanan pada sektor pertambangan batu bara ini terjadi pada banyak indikator, dari harga, nilai ekspor, hingga upah pekerja di sektor tersebut,” ujar Christiantoko.
Mengacu pada data Bank Dunia, harga batu bara Australia yang menjadi referensi pasar internasional berada di level 112,6 dolar AS per ton per 25 November 2025. Angka ini merupakan titik terendah dalam 57 bulan terakhir atau sejak Maret 2021. Sementara itu, harga acuan batu bara Indonesia juga mengalami penurunan signifikan, mencapai 20,76 persen secara year to date.
Kondisi ini menggambarkan periode kelesuan panjang yang turut menekan pelaku industri, baik perusahaan maupun tenaga kerja. Oleh sebab itu, pengenaan bea keluar dinilai tidak akan menjadi beban tambahan yang mengancam stabilitas sektor, mengingat nilai komoditas saat ini berada pada titik rendah.
Pertimbangan Ekonomi dan Momentum Kebijakan
Christiantoko memandang bahwa kebijakan bea keluar dapat menjadi instrumen yang membantu mengatur dinamika ekspor batu bara. Saat harga tinggi, negara dapat memperoleh manfaat fiskal yang lebih besar. Namun ketika harga rendah seperti saat ini, efeknya terhadap biaya produksi dan daya saing ekspor akan lebih minim.
Ia menilai bahwa penerapan kebijakan tersebut justru bisa dilakukan tanpa mengguncang pasar secara signifikan. Hal ini karena pelaku industri kini berada dalam fase adaptasi terhadap penurunan harga global, sehingga perubahan kebijakan fiskal tidak serta-merta memberikan tekanan tambahan yang berlebihan.
Selain itu, pemerintah dinilai memiliki alasan kuat untuk memperluas basis penerimaan. Kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin besar menuntut negara mencari sumber pendapatan yang stabil. Batu bara sebagai salah satu komoditas ekspor terbesar Indonesia menjadi pilihan logis untuk dikaji kembali dalam struktur pungutan negara.
Momentum inilah yang disebut Christiantoko sebagai periode yang ideal untuk melakukan penyesuaian kebijakan. Dengan harga yang rendah, potensi gangguan terhadap industri lebih kecil, sementara peluang untuk memperkuat penerimaan negara tetap terbuka.
Dinamika Kebijakan dan Respons Pasar
Rencana penerapan bea keluar juga tidak berdiri sendiri. Beberapa waktu sebelumnya, pemerintah melalui instansi terkait telah membuka peluang pengenaan bea keluar batu bara mulai berlaku pada 2026. Pernyataan tersebut menguatkan sinyal bahwa pemerintah ingin memperbaiki tata kelola ekspor komoditas strategis dengan pendekatan yang lebih progresif.
Meski demikian, kebijakan ini masih memerlukan harmonisasi dengan sektor industri untuk memastikan implementasinya berjalan efektif. Penyesuaian tarif, mekanisme teknis, serta koordinasi lintas kementerian akan menjadi bagian penting dari proses perumusan akhir.
Pelaku industri pun akan menantikan kejelasan mengenai tarif dan skema pengenaan bea. Namun dalam konteks ekonomi yang sedang tertekan, respons pasar diperkirakan tidak akan terlalu agresif. Pasalnya, harga yang sedang berada pada titik terendah membuat koreksi biaya akibat bea keluar tidak mengubah struktur pasar secara drastis.
Penutup: Kebijakan Fiskal dan Kepentingan Jangka Panjang
Rencana pengenaan bea keluar ekspor batu bara menunjukkan bagaimana pemerintah menyiapkan strategi fiskal jangka panjang yang lebih adaptif. Dengan kondisi sektor tambang yang sedang tertekan, penyesuaian ini dapat dilakukan tanpa mengguncang industri secara signifikan.
Christiantoko menilai bahwa momentum saat ini paling ideal untuk memulai kebijakan baru tersebut. Dengan memperluas basis penerimaan negara melalui komoditas seperti emas dan batu bara, pemerintah dapat menjaga stabilitas fiskal sekaligus mempersiapkan fondasi penerimaan yang lebih kuat untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global di tahun-tahun mendatang.