JAKARTA - Pasar otomotif nasional tengah memasuki fase baru yang ditandai dengan perubahan pola kompetisi antara kendaraan bensin dan mobil listrik (EV).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa meningkatnya minat masyarakat terhadap mobil listrik telah menekan harga mobil konvensional dalam beberapa bulan terakhir.
Fenomena penurunan harga akibat kehadiran EV ini menjadi yang pertama terjadi di Indonesia. Produsen mobil bensin kini harus menahan harga agar tetap kompetitif di tengah penetrasi agresif kendaraan elektrifikasi yang makin terjangkau.
Airlangga menyampaikan hal tersebut saat menghadiri Rapimnas Kadin 2025, menegaskan bahwa kompetisi baru ini memperluas akses masyarakat terhadap kendaraan pribadi.
EV memengaruhi strategi harga pabrikan mobil bensin
Menurut Airlangga, pameran GJAW 2025 di Bumi Serpong Damai menjadi gambaran nyata bagaimana kehadiran EV memicu koreksi harga. Ia menyebut kini banyak kendaraan dijual pada kisaran Rp300 juta, bahkan beberapa model ditawarkan di rentang Rp175 juta–Rp190 juta.
Fenomena ini belum pernah terjadi sebelumnya, di mana mobil listrik justru menekan harga mobil bensin ke level yang lebih rendah. Dengan semakin banyaknya pemain EV, baik lokal maupun internasional, pabrikan kendaraan konvensional harus menyesuaikan strategi harga agar tidak ditinggalkan konsumen.
Airlangga juga menyoroti bahwa tren ini memperluas kesempatan masyarakat di kelas menengah untuk memiliki kendaraan pribadi yang lebih modern dan efisien.
data penjualan tegaskan pergeseran minat masyarakat
Perubahan preferensi masyarakat semakin terlihat dari performa penjualan sepanjang 2025. Mobil listrik mencatat pertumbuhan signifikan 18,27%, sementara kendaraan berbahan bakar bensin cenderung stagnan.
Meski penjualan mobil bensin melemah, mobilitas masyarakat tetap tinggi yang tercermin dari kenaikan penjualan sepeda motor sebesar 8,4%. Airlangga menilai situasi ini menandakan adanya shifting dari mobil bensin ke mobil listrik, dipicu efisiensi jangka panjang dan insentif yang tersedia.
Kompensasi harga yang makin kompetitif membuat EV menjadi pilihan yang lebih menarik bagi konsumen urban maupun pengguna pertama.
kemenperin beri peringatan soal risiko industri
Namun, pergeseran besar tersebut dipandang berbeda oleh Kementerian Perindustrian. Menurut data Kemenperin, pertumbuhan penjualan EV di Indonesia sebagian besar masih ditopang oleh impor, mencapai 73%.
Artinya, peningkatan penjualan EV belum memberikan kontribusi memadai pada nilai tambah dalam negeri, serapan tenaga kerja, maupun aktivitas industri lokal. Di sisi lain, penurunan signifikan di segmen mobil entry level—tulang punggung industri otomotif nasional—mulai terasa.
Kemenperin mencatat segmen mobil terjangkau turun hingga 40%, disusul segmen menengah ke bawah yang terkoreksi 36%. Kendaraan komersial juga mengalami penurunan 23%. Tekanan ini dinilai berpotensi mengganggu keberlanjutan investasi besar yang sudah lama ditanamkan oleh pabrikan nasional dan global di Indonesia.
ancaman terhadap ekosistem manufaktur nasional
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, memperingatkan bahwa pelemahan penjualan yang berkepanjangan dapat membuat pabrik tidak beroperasi sesuai kapasitas. Jika kondisi ini berlangsung lama, maka ekosistem industri otomotif dari hulu hingga hilir ikut tertekan.
Febri menegaskan bahwa dampaknya bukan sekadar penurunan angka penjualan, tetapi juga berpotensi menggeser struktur industri nasional dalam jangka panjang. Tanpa langkah intervensi yang tepat, tekanan dari dominasi impor EV bisa menggerus ketahanan manufaktur lokal.
Ia menyatakan bahwa situasi ini memerlukan perhatian serius karena menyangkut keberlanjutan investasi, stabilitas industri, dan arah perkembangan sektor otomotif di masa depan.
industri di persimpangan: adaptasi atau tertinggal
Dengan kompetisi yang makin ketat, industri otomotif nasional kini berada di persimpangan penting. Kehadiran EV menekan harga, mengubah preferensi konsumen, sekaligus menguji ketahanan pabrikan lokal menghadapi arus impor.
Di satu sisi, masyarakat diuntungkan dari harga kendaraan yang semakin terjangkau. Namun di sisi lain, industri domestik terancam kehilangan daya tahan jika kebijakan penyeimbang tidak segera diterapkan.
Kondisi ini menandai awal era baru di mana harga bukan lagi faktor utama, melainkan strategi adaptasi industri terhadap perubahan teknologi dan perilaku pasar.