JAKARTA - Pergerakan Bitcoin kembali menarik perhatian menjelang penutupan tahun 2025.
Meski harga aset kripto terbesar dunia tersebut sempat rebound dan bertahan stabil pada perdagangan Minggu, sentimen pasar menunjukkan bahwa investor masih belum sepenuhnya yakin terhadap peluang reli yang lebih besar dalam waktu dekat.
Situasi ini menciptakan dinamika baru menjelang Desember, periode yang sering kali ditandai oleh volatilitas tajam.
Kenaikan harga Bitcoin ke kisaran US$92.000 menimbulkan pertanyaan: apakah lonjakan ini merupakan tanda awal pemulihan atau hanya sekadar rebound sementara di tengah ketidakpastian global?
Banyak analis memantau pergerakan tersebut untuk melihat bagaimana pasar bereaksi terhadap kondisi ekonomi internasional yang masih sarat tekanan.
Bitcoin Menguat, Namun Sentimen Pasar Tetap Negatif
Bitcoin tercatat diperdagangkan mendekati US$92.000 berdasarkan data Coinmarketcap. Meski terjadi penguatan, Indeks Crypto Fear and Greed tetap berada pada zona fear, menandakan bahwa pelaku pasar masih bersikap hati-hati terhadap pergerakan aset kripto.
Pergerakan ini dinilai sebagian analis sebagai respons pasar terhadap kekhawatiran kondisi ekonomi global yang berpotensi menyerupai resesi. Hal ini menarik karena sejumlah indikator makroekonomi terbaru belum menunjukkan tanda-tanda perlambatan ekonomi yang signifikan.
BACA JUGA: Tahun Depan, Negara Ini Akan Legalkan Kripto dan Penambangan Bitcoin
Kombinasi antara rebound harga dan sentimen investor yang masih suram ini menciptakan kontras yang mengindikasikan pasar tengah menunggu katalis baru untuk menentukan arah yang lebih jelas. Pasar kripto pada umumnya sangat peka terhadap perubahan kondisi ekonomi, suku bunga, dan kebijakan bank sentral, sehingga situasi seperti ini dapat berlangsung cukup lama.
Analisis Bitwise: Bitcoin Antisipasi Skenario Pertumbuhan Global Melemah
Salah satu analisis yang mendapat perhatian datang dari André Dragosch, European Head of Research Bitwise Asset Management. Ia menilai bahwa Bitcoin saat ini mencerminkan prospek pertumbuhan global paling bearish sejak siklus pengetatan moneter The Fed pada 2022.
Dragosch membandingkan ekspektasi pertumbuhan global dengan sinyal makro yang tercermin dalam harga Bitcoin. Hasilnya menunjukkan adanya divergensi ekstrem: garis hitam yang mewakili outlook pertumbuhan versi Bitcoin anjlok hingga berada di bawah minus satu standar deviasi.
Kondisi tersebut terlihat jauh lebih pesimistis dibandingkan indikator survei makro yang saat ini masih berada di sekitar level netral. Divergensi ini disebut Dragosch sebagai salah satu fenomena yang pernah terjadi lima tahun lalu dan kala itu diikuti oleh reli besar Bitcoin.
“Bitcoin pada dasarnya sedang memproyeksikan lingkungan pertumbuhan yang resesioner,” ujarnya.
Baginya, pengaturan risiko dan imbal hasil saat ini berada dalam posisi asimetris, yang berarti peluang pemulihan lebih besar dibanding potensi penurunan. Pernyataan ini memberi gambaran bahwa meskipun pasar tengah dilanda ketakutan, peluang rebound signifikan masih terbuka.
“Kita bahkan belum cukup bullish,” kata Dragosch.
Prospek Pemulihan: Reli Besar Bisa Terulang?
Di tengah berbagai sinyal makro yang menunjukkan ketegangan, Dragosch melihat ruang pertumbuhan signifikan bagi Bitcoin jika pola historis berulang. Ia memperkirakan bahwa jika momentum pemulihan terjadi, potensi lonjakan harga bisa menyerupai reli enam kali lipat yang terjadi pasca-pandemi Covid-19.
BACA JUGA: PHK Karyawan, Tether Akhirnya Tutup Operasi Tambang Bitcoin di Uruguay
Potensi itu bergantung pada sejumlah faktor, termasuk respons pasar terhadap kebijakan moneter, perkembangan ekonomi global, hingga kondisi likuiditas pada kuartal pertama tahun depan. Jika indikator-indikator tersebut bergerak lebih positif, maka Bitcoin berpotensi kembali mengalami tren kenaikan yang lebih kuat.
Namun, beberapa analis lain tetap mengingatkan bahwa volatilitas kripto dapat memberikan kejutan kapan saja. Rebound seperti yang terjadi saat ini bisa menjadi tanda awal penguatan jangka panjang, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa tekanan jual masih akan muncul apabila sentimen kembali memburuk.
Mengapa Investor Masih Ragu?
Keraguan investor terhadap reli Bitcoin menjelang akhir tahun ini dipengaruhi sejumlah faktor. Pertama, inflasi global yang masih labil membuat investor menahan diri sebelum mengambil posisi besar. Kedua, kebijakan suku bunga yang belum mendapatkan arah pasti dari bank-bank sentral besar turut menambah tekanan psikologis.
Selain itu, pergerakan aset kripto masih erat kaitannya dengan kondisi pasar keuangan tradisional. Ketika pasar saham memasuki periode koreksi, arus modal cenderung menjauh dari aset berisiko seperti kripto.
Meski demikian, rebound Bitcoin ke US$92.000 tetap menjadi penanda bahwa aset ini masih memiliki daya tahan kuat di tengah kondisi pasar yang berat. Kestabilan harga dalam beberapa hari terakhir menunjukkan bahwa tekanan jual mulai mereda dan pelaku pasar bersiap mengantisipasi arah baru.
Arah Bitcoin Menjelang Akhir Tahun
Menutup 2025, Bitcoin berada dalam posisi yang menarik: menguat tetapi belum cukup menggugah kepercayaan pasar. Sejumlah analisis, termasuk dari Bitwise, menyoroti bahwa sinyal makro yang tercermin pada pergerakan harga justru menunjukkan ekspektasi pertumbuhan global yang melemah.
Namun, pengalaman beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa perbedaan tajam seperti ini tidak selalu berarti tekanan berkepanjangan. Dalam banyak kasus, divergensi justru menjadi titik awal bagi reli besar ketika kondisi pasar mulai membaik.
Dengan prospek pemulihan ekonomi yang masih cair dan pergerakan harga Bitcoin yang mulai stabil, akhir tahun ini bisa menjadi periode krusial dalam menentukan arah pasar kripto pada 2026.
Investor global kini terus memantau apakah rebound menuju US$92.000 merupakan awal dari tren naik yang lebih besar atau hanya jeda sementara di tengah ketidakpastian.