Pionir Seni Islam

Aceh Jadi Pionir Seni Islam dalam Ekosistem Budaya Nasional

Aceh Jadi Pionir Seni Islam dalam Ekosistem Budaya Nasional
Aceh Jadi Pionir Seni Islam dalam Ekosistem Budaya Nasional

JAKARTA - Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, menekankan bahwa tradisi Islam bisa menjadi fondasi penting bagi pengembangan ekosistem budaya nasional. 

Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Mekkah, diharapkan menjadi pionir dalam memajukan seni Islami di tanah air.

“Ke depannya, seni Islam atau Islamic arts menjadi bagian yang sangat penting. Aceh bisa memimpin dalam pengembangan seni pertunjukan, musik, tradisi, seni rupa, dan seni lainnya,” kata Fadli. Pernyataan ini disampaikan dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa.

Festival Gerakan Kebudayaan Indonesia (GAYAIN) Aceh 2025 menjadi salah satu wujud nyata untuk menghidupkan kembali akar budaya Islam di provinsi ini.

GAYAIN Aceh 2025: Lebih dari Sekadar Seremoni

Fadli menegaskan bahwa festival ini bukan sekadar seremoni, melainkan langkah konkret untuk mengangkat kekayaan budaya Islam. Aceh menjadi titik temu antara seni Islami dan keberagaman budaya Nusantara.

Budaya Aceh yang kental dengan unsur Islami terlihat dalam tradisi Seudati, shalawat, hingga berbagai seni pertunjukan lokal. “Sebagai kota yang bersejarah dalam budaya dan peradaban, kita berharap kekayaan budaya Aceh bisa terus dijaga, dikembangkan, dimanfaatkan, dan dibina,” tambah Fadli.

Festival ini juga menekankan prinsip keberlanjutan, agar warisan budaya Islam dapat dinikmati generasi mendatang.

Sinergi Budaya dan Ekonomi Kreatif

Fadli menyoroti pentingnya menciptakan ekosistem yang menyatukan budaya dan ekonomi kreatif. Dengan begitu, pelestarian seni tidak hanya bersifat simbolis, tetapi juga bisa memberikan kesejahteraan bagi masyarakat lokal.

“Budaya yang hidup dan dikembangkan dengan baik bisa menjadi penggerak ekonomi kreatif. Masyarakat tidak hanya sebagai penonton, tetapi juga mendapat manfaat ekonomi,” ujar Fadli. Pendekatan ini diharapkan mendorong kreativitas para seniman sekaligus meningkatkan daya tarik wisata budaya di Aceh.

Identitas Budaya Aceh dan Peran Masyarakat

Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, menekankan bahwa identitas budaya Aceh tak bisa dipisahkan dari agama, nilai, dan kreativitas masyarakat. Festival GAYAIN 2025 hadir untuk melestarikan seni tradisional dan menghidupkan kembali warisan leluhur.

“Kami ingin menghidupkan kembali syair, tari, musik etnik, dan seni lisan yang menjadi warisan budaya Aceh. Ini adalah upaya pelestarian sekaligus pendidikan bagi generasi muda,” ujarnya.

Festival ini berlangsung dari 24-26 November 2025 di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, dengan berbagai penampilan yang memukau penonton.

Penampilan Seni dan Partisipasi Seniman

GAYAIN Aceh 2025 dimeriahkan dengan musikalisasi puisi, tari tradisional, pembacaan Sajak Nusantara, serta penampilan kolaborasi musik etnik. Beragam sanggar seni dan grup musik turut ambil bagian, termasuk Sanggar Saleum, Sanggar Cit Ka Geunta, Sanggar Pinto Khop, grup musik Sukamosa, HNS, grup Teater Rongsokan, Harmoni of Banda Aceh, Orang Hutan Squad, Pupha Ethanica, Bengkel Musik Batas & Friends, Apache, hingga Cut Zuhra.

Festival ini menjadi wadah bagi pegiat budaya dan seniman untuk menampilkan karya mereka sekaligus memperkenalkan seni Islam kepada masyarakat luas.

Aceh sebagai Pusat Seni Islam

Fadli menegaskan bahwa Aceh dapat menjadi pusat pengembangan seni Islam di Indonesia. Dengan dukungan pemerintah dan partisipasi masyarakat, potensi budaya lokal bisa dimaksimalkan, sekaligus memperkuat identitas Islam yang menjadi ciri khas Aceh.

“Kami berharap Aceh menjadi pionir yang bisa menginspirasi daerah lain untuk mengembangkan seni Islami dan menjadikan budaya sebagai penggerak pembangunan ekonomi serta pendidikan,” kata Fadli.

Festival GAYAIN 2025 bukan hanya panggung seni, tetapi juga sarana edukasi, pelestarian budaya, dan promosi potensi lokal yang mampu menarik wisatawan domestik maupun internasional.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index