Perlindungan Anak

Pedoman Perlindungan Anak Perkuat Lawan Terorisme Digital

Pedoman Perlindungan Anak Perkuat Lawan Terorisme Digital
Pedoman Perlindungan Anak Perkuat Lawan Terorisme Digital

JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menegaskan pentingnya Pedoman Teknis Perlindungan Anak dari Jaringan Terorisme sebagai acuan nasional. 

Pedoman ini menjadi landasan untuk memperkuat langkah preventif, penanganan, hingga rehabilitasi anak yang rentan terpapar ideologi ekstrem.

Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak Dalam Kondisi Khusus Kemen PPPA, Susanti, mengungkapkan bahwa pedoman menekankan kolaborasi lintas kementerian dan lembaga. Tujuannya memastikan anak terlindungi sejak dini, baik secara fisik maupun psikososial.

“Aksi terorisme modern kini menyasar anak dan remaja sebagai kelompok yang rentan terpengaruh melalui ruang digital. Kondisi ini mengharuskan kita untuk lebih mewaspadai dan memberikan perlindungan ekstra agar anak tumbuh dalam lingkungan yang aman dan bebas dari ancaman terorisme," kata Susanti.

Peran Semua Pihak dalam Perlindungan Anak

Menurut Susanti, perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga keluarga, komunitas, dan masyarakat luas. Pendekatan kolektif menjadi kunci untuk mencegah anak terjerumus dalam jaringan terorisme.

"Upaya perlindungan anak dari jaringan terorisme tertuang dalam Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Anak. Edukasi penguatan ideologi dan rasa nasionalisme anak perlu ditekankan melalui layanan konseling, rehabilitasi, pendampingan, dan pengasuhan," katanya.

Pengasuhan yang menanamkan nilai-nilai karakter, seperti empati, tanggung jawab, dan kemandirian, diyakini memperkuat daya tahan anak terhadap pengaruh negatif. Nilai-nilai ini juga menjadi benteng terhadap radikalisme dan konten ekstremisme kekerasan.

Upaya Pemerintah dan Lembaga Penegak Hukum

Kemen PPPA memanfaatkan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPPA) serta dinas terkait untuk menangani anak korban jaringan terorisme. Sementara pencegahan aksi ekstrem berbasis kekerasan dilakukan melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), yang tersebar di 302 unit seluruh Indonesia.

Perwakilan Direktorat Pencegahan Densus 88 Anti Teror Polri, Kombes Pol. Mohammad Dofir, menyebut tercatat 19.416 aksi pencegahan pada 2024, meningkat dibanding 1.536 pada 2022. Standar Operasional Prosedur (SOP) Kontra Radikalisasi Terhadap Anak menjadi dasar penanganan anak korban jaringan terorisme.

“Meskipun demikian, SOP Kontra Radikalisasi Terhadap Anak tetap menjadi dasar dalam penanganan anak korban jaringan terorisme. Proses asesmen, upaya kolektif, monitoring, dan evaluasi tentu dilakukan dengan berkoordinasi lintas sektor dengan kementerian/lembaga terkait,” kata Dofir.

Perlindungan Anak di Ruang Digital

Ancaman modern juga hadir melalui ranah digital. Tuaman Manurung dari Sekretariat Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat sebanyak 3.257.039 konten negatif tersebar antara Oktober 2024 hingga November 2025, termasuk 8.305 konten terorisme dan radikalisme.

“Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP TUNAS) berupaya meningkatkan kesadaran masyarakat, memberikan layanan dan pengawasan perlindungan anak di ranah digital. Upaya ini harus didukung peran orang tua, wali, serta masyarakat untuk mendampingi anak dalam mengakses konten digital,” kata Tuaman.

Selain itu, upaya deradikalisasi yang terpadu juga menjadi strategi penting. Bara Lintar Sanggabuana dari Direktorat Deradikalisasi BNPT menyampaikan bahwa proses ini berkesinambungan, menekankan kepentingan terbaik anak.

“Deradikalisasi pada anak ditempuh melalui pembinaan wawasan kebangsaan dan keagamaan yang menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai prioritas,” ujar Bara.

Peran LSM dan Masyarakat dalam Edukasi Anak

Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, menekankan anak bukan pelaku, tetapi korban jaringan terorisme. Faktor keluarga, paparan kekerasan, dan kurangnya pengawasan menyebabkan anak rentan terjerumus.

“Anak yang terlibat memerlukan pendampingan hukum dan psikososial, bukan hukuman,” katanya. Peran LSM penting dalam memberikan edukasi, ruang dialog, dan penguatan empati sehingga anak penyintas memperoleh penanganan, pemberdayaan, dan penerimaan dari keluarga serta lingkungan sekitar.

Sinergi antara pemerintah, penegak hukum, masyarakat, dan LSM diyakini memperkuat perlindungan anak dari risiko ekstremisme dan jaringan terorisme, baik secara offline maupun digital.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index