BUMN

UU BUMN No. 1 Tahun 2025 Batasi Cakupan Keuangan Negara, Pakar Soroti Risiko Akuntabilitas Publik

UU BUMN No. 1 Tahun 2025 Batasi Cakupan Keuangan Negara, Pakar Soroti Risiko Akuntabilitas Publik
UU BUMN No. 1 Tahun 2025 Batasi Cakupan Keuangan Negara, Pakar Soroti Risiko Akuntabilitas Publik

JAKARTA – Pemerintah Indonesia resmi memberlakukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menandai perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan negara. Lewat pendekatan baru ini, negara mempertahankan hak istimewa sebagai pemegang saham strategis, tetapi mengurangi penerapan rezim keuangan negara terhadap entitas BUMN yang dikelola secara korporatis.

Undang-undang tersebut membawa konsep regulatory carve-out, yaitu pembatasan eksplisit atas penerapan UU Keuangan Negara (UU No. 17 Tahun 2003) terhadap BUMN yang kekayaannya telah dipisahkan. Dengan mengadopsi prinsip Business Judgment Rule dalam Pasal 3Y, UU ini mendorong pergeseran dari pendekatan fiskal administratif ke arah tata kelola berbasis prinsip Good Corporate Governance (GCG), mendekati logika pengelolaan sektor privat.

Negara Pertahankan Hak Istimewa Lewat Saham Dwiwarna

Pasal 4C dalam UU No. 1 Tahun 2025 menegaskan bahwa negara tetap memiliki kontrol strategis melalui kepemilikan saham seri A Dwiwarna. Saham ini memberikan hak khusus kepada negara untuk menyetujui atau menolak keputusan strategis meskipun mayoritas saham dapat dimiliki investor swasta.

Model ini mencerminkan pendekatan “state as strategic shareholder” yang mirip dengan praktik di negara-negara Eropa dalam mengelola perusahaan strategis. Seperti dijelaskan oleh Musacchio dan Lazzarini (2014), pendekatan ini memberi ruang efisiensi manajerial tanpa kehilangan kendali negara atas kepentingan nasional.

Pengelolaan Berbasis Prinsip Korporasi, Bukan Fiskal

Perubahan paling signifikan dalam UU ini terletak pada Pasal 3AA ayat (2), yang menyatakan bahwa sepanjang telah diatur secara khusus dalam UU BUMN, maka ketentuan perundang-undangan terkait keuangan negara, perbendaharaan, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), dan regulasi perseroan terbatas tidak berlaku terhadap BUMN.

Kondisi ini menciptakan ruang regulatory carve-out, yaitu pelepasan entitas BUMN dari kerangka fiskal tradisional negara. BUMN dikelola dengan logika bisnis dan bukan semata-mata berdasarkan prinsip kehati-hatian anggaran publik.

Dalam konteks ini, Pasal 3Y menjadi krusial karena mengadopsi prinsip Business Judgment Rule. Prinsip ini melindungi manajemen dari tanggung jawab atas kerugian, selama keputusan diambil dengan iktikad baik, tanpa konflik kepentingan, dan berdasarkan kehati-hatian.

“Dengan prinsip ini, pengelolaan BUMN tidak lagi dibatasi oleh rezim pengelolaan keuangan negara konvensional, tapi lebih menekankan prinsip efisiensi, profesionalisme, dan manajerial,” jelas pakar hukum keuangan publik dari Universitas Indonesia, sebagaimana tercantum dalam kajian terkait implementasi UU ini.

Risiko Terhadap Akuntabilitas dan Transparansi

Meski membawa potensi efisiensi, pengaturan baru ini juga memunculkan sejumlah risiko tata kelola. Pembatasan cakupan keuangan negara atas entitas BUMN berpotensi memperlemah pengawasan eksternal, terutama oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), terhadap keputusan strategis BUMN.

Ketidakjelasan batas antara domain publik dan privat dalam pengelolaan aset negara juga meningkatkan risiko moral hazard, yaitu pengambilan keputusan yang hanya mengutamakan keuntungan tanpa mempertimbangkan kepentingan publik.

Dalam laporan OECD (2005), diingatkan bahwa “korporatisasi sektor publik tanpa adanya pengaman yang memadai dapat melemahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.”

Pendekatan administrative regime yang diadopsi UU ini berarti bahwa negara tetap memiliki aset dan otoritas strategis, tetapi pengelolaannya dilakukan dengan prinsip korporasi. Hal ini sejalan dengan pandangan Florence Eid (2004) yang menyatakan bahwa tata kelola sektor publik dapat mengambil inspirasi dari prinsip-prinsip corporate governance, namun tetap membutuhkan keseimbangan kontrol publik.

Butuh Mekanisme Oversight yang Baru

Transformasi ini menimbulkan tantangan baru bagi desain pengawasan keuangan negara. Dengan makin kaburnya batas antara perusahaan negara dan swasta, perlu dirancang ulang sistem pengawasan publik agar tetap mampu menjaga prinsip kedaulatan rakyat atas keuangan negara.

“UU No. 1 Tahun 2025 membuka ruang efisiensi, namun negara tetap wajib menjamin bahwa prinsip keadilan fiskal dan hak publik atas transparansi tidak dikorbankan dalam proses ini,” tegas narasumber dalam kajian reformasi fiskal nasional yang menyoroti urgensi penguatan oversight mechanism di sektor BUMN.

Ke depan, perhatian tidak hanya tertuju pada efisiensi korporatis, tapi juga pada bagaimana negara mampu menjaga keseimbangan antara peran strategis sebagai pemegang saham dan tanggung jawab publik sebagai pengelola keuangan negara.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index