JAKARTA – Pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI) adalah salah satu fase penting dalam perkembangan bayi. Namun, MPASI bukan hanya sekadar soal jenis makanan yang diberikan kepada bayi. Pemberian MPASI juga mencakup kesiapan fisik, emosional, serta kesehatan secara keseluruhan. Dalam sebuah sesi live Instagram bersama dua ahli kesehatan, yakni ahli gizi Dr. dr Tan Shot Yen, M.Hum, dan dokter spesialis anak dr. Kristian Wongso Giamto, DTM&H, M.Sc, M.Krim, Sp.A, dibahas berbagai isu terkait pemberian MPASI, mulai dari waktu yang tepat, tanda keberhasilan, hingga penanganan alergi.
Waktu Ideal Pemberian MPASI dan Risiko Memberi Terlalu Dini
Pemberian MPASI sebaiknya dilakukan tepat pada usia bayi 6 bulan. Menurut dr. Kristian, memberi MPASI sebelum usia 6 bulan dapat menimbulkan sejumlah risiko bagi bayi. Salah satunya adalah mengurangi manfaat ASI eksklusif yang mengandung zat kekebalan tubuh alami yang tidak bisa digantikan oleh susu formula. “ASI itu fondasi awal kehidupan. Di dalamnya ada zat kekebalan tubuh alami yang tidak bisa diproduksi oleh pabrik mana pun,” ungkap dr. Kristian dalam sesi tersebut.
Selain itu, pemberian MPASI terlalu dini juga dapat mengganggu hubungan emosional antara ibu dan anak yang terbentuk saat proses menyusui. “Proses menyusui juga menciptakan kedekatan emosional yang penting bagi perkembangan psikologis bayi,” tambah dr. Kristian. Sistem pencernaan bayi yang belum matang juga dapat bereaksi negatif terhadap makanan padat yang diberikan terlalu dini, meningkatkan risiko alergi dan masalah pencernaan.
Tanda Keberhasilan MPASI yang Harus Diperhatikan Orang Tua
Keberhasilan pemberian MPASI dapat dilihat dari beberapa indikator yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Dr. Tan Shot Yen menjelaskan, tanda keberhasilan pemberian MPASI antara lain adalah:
-Kenaikan Berat Badan yang Sesuai: Bayi yang menerima MPASI dengan baik akan mengalami kenaikan berat badan yang sesuai dengan kurva pertumbuhannya.
-Pola Buang Air Besar (BAB) yang Normal: Tidak ada diare atau sembelit parah yang mengganggu kenyamanan bayi.
-Respons Positif Terhadap Makanan: Bayi tampak tertarik dan menikmati makanan yang diberikan tanpa menolak atau muntah.
“Jangan lupakan posyandu. Penimbangan dan pemantauan tumbuh kembang tiap bulan sangat penting,” kata dr. Tan Shot Yen, mengingatkan orang tua untuk rutin memantau perkembangan bayi di posyandu untuk mengetahui apakah MPASI yang diberikan berjalan dengan baik.
Menurut dr. Kristian, keberhasilan MPASI juga bisa dibuktikan melalui data perkembangan anak, seperti kurva berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala. Ini adalah indikator yang jelas bahwa bayi tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai usia mereka.
Frekuensi dan Menu Awal MPASI yang Tepat
Banyak orang tua merasa khawatir jika bayi mereka belum langsung diberi tiga kali makan berat sehari setelah memulai MPASI. Padahal, dr. Tan Shot Yen menyarankan agar orang tua tidak terburu-buru. Pada awal pemberian MPASI, cukup mulai dengan satu atau dua kali makan berat per hari. “Fokuslah pada menu utama, bukan snack. Jangan baru 6 bulan sudah repot cari cemilan. Utamakan makanan bergizi lengkap,” ujarnya.
Menu MPASI pertama yang ideal harus mencakup karbohidrat, protein hewani, sayur, dan lemak. Bubur sumsum atau camilan manis bukanlah prioritas di awal pemberian MPASI. Asupan makanan yang lengkap dan bergizi sangat penting agar bayi memperoleh manfaat gizi yang optimal.
Perubahan Pola BAB Setelah MPASI
Setelah pemberian MPASI, perubahan pada pola BAB bayi adalah hal yang wajar. Feses bisa menjadi lebih padat dan frekuensi BAB bisa berkurang. Dr. Kristian mengingatkan orang tua untuk memperhatikan kenyamanan bayi saat BAB. “Normal jika frekuensi BAB menurun dan feses lebih padat, selama anak tetap nyaman saat BAB. Namun, jika anak harus mengejan keras atau menangis saat BAB, bisa jadi itu tanda sembelit,” jelasnya. Ia menyarankan untuk memperhatikan asupan cairan, serat, dan sayuran pada makanan bayi untuk mencegah sembelit.
Penanganan Alergi MPASI: Jangan Terlalu Cepat Menyimpulkan
Banyak orang tua yang khawatir anak mereka mengalami alergi terhadap makanan tertentu, seperti telur atau ikan. Namun, menurut kedua dokter tersebut, alergi makanan harus dibuktikan secara medis dan bukan hanya berdasarkan asumsi. “Sebelum terbukti alergi, makanan tidak boleh dilarang. Jangan sampai anak cuma makan nasi dan tahu karena khawatir berlebihan,” kata dr. Kristian.
Dr. Tan Shot Yen juga menambahkan bahwa beberapa reaksi yang dianggap sebagai alergi makanan bisa jadi disebabkan oleh faktor lain, seperti infeksi kulit atau reaksi terhadap minyak telon yang digunakan pada bayi. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk tidak cepat mengambil kesimpulan tanpa pemeriksaan medis yang tepat.