JAKARTA — Kuliner tradisional Indonesia kembali menunjukkan pesonanya. Kali ini, Serabi Tempe Pulosari, makanan khas dari lereng Gunung Slamet, Kabupaten Pemalang, mencuri perhatian karena keunikan rasa, cara penyajian, serta nuansa lokal yang kental. Tidak hanya menggugah selera, serabi tempe ini juga menjadi simbol kearifan lokal masyarakat Pulosari yang hidup di kawasan pegunungan dengan suhu yang sejuk.
Serabi pada umumnya dikenal sebagai jajanan tradisional berbahan dasar tepung beras yang disajikan dengan kuah santan atau gula merah. Namun, di Kecamatan Pulosari, serabi hadir dengan pendekatan berbeda: ditemani gorengan tempe dan segelas teh tawar hangat. Perpaduan unik ini tidak hanya memberikan sensasi rasa yang berbeda, tetapi juga mencerminkan gaya hidup masyarakat yang tinggal di dataran tinggi.
Serabi yang Jadi Pengganti Nasi
Menurut Santo, warga Pulosari yang sudah lama tinggal di daerah tersebut, tradisi makan serabi tempe sudah berlangsung lama dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar.
“Kalau serabi Pulosari lebih enak dimakan dengan gorengan, karena kondisi cuacanya kan Pulosari dingin dekat lereng Gunung Slamet. Jadi jajanan serabi cenderung seperti makanan pokok nasi atau lontong,” ujar Santo.
Cara penyajiannya pun tak kalah unik. Bukan dengan kuah santan, serabi di daerah ini disajikan kering, ditemani gorengan tempe, dan dinikmati bersama teh tawar hangat yang memperkuat kesan tradisional dan kehangatan suasana lereng gunung.
“Jika lazimnya serabi disajikan dengan kuah santan, beda halnya dengan kuliner dari bawah kaki Gunung Slamet ini. Biasanya menyantap serabi dengan gorengan tempe dan segelas teh hangat tawar,” sambung Santo.
Jajanan Tradisional yang Tetap Eksis
Salah satu pelaku usaha yang masih menjaga tradisi kuliner ini adalah Jamilah (50), warga RT 03/RW 02 Desa Pulosari. Bersama suaminya, ia menjajakan serabi tempe dari gubuk kecil di samping rumahnya. Usaha ini sudah ia jalani selama sembilan tahun dan hingga kini terus bertahan karena permintaan yang stabil dari masyarakat.
“Kalau sudah mulai masak biasanya sudah ada orang yang datang sampai pagi. Ada juga yang mengambil dagangan dari sini buat dijual keliling,” ungkap Jamilah.
Pelanggan serabi tempe tidak hanya datang dari warga desa setempat, tetapi juga dari berbagai desa sekitar yang tertarik mencicipi kelezatan kuliner ini. Bahkan, serabi tempe kerap dipesan untuk keperluan acara seperti tahlil dan yasinan.
“Masyarakat di sini mayoritas petani. Kalau subuh, waktu mau berangkat ke kebun, biasanya mampir beli serabi tempe buat bekal sarapan pengganti nasi,” tambahnya.
Murah dan Mengenyangkan
Serabi tempe Pulosari dikenal bukan hanya karena cita rasanya, tetapi juga karena harganya yang sangat terjangkau. Dengan harga Rp1.000 per buah, jajanan ini menjadi pilihan ekonomis dan bergizi bagi masyarakat pedesaan. Dalam sehari, seorang penjual bisa menghabiskan lebih dari 7 kilogram tepung beras dan 15 bungkus tempe, menandakan tingginya permintaan.
Dimasak dengan Tungku Kayu Kopi
Demi menjaga keaslian rasa dan aroma tradisional, serabi dan gorengan tempe dimasak menggunakan tungku berbahan bakar kayu pohon kopi. Kecamatan Pulosari yang juga dikenal sebagai salah satu sentra kopi di Pemalang, memberikan kemudahan akses bahan bakar ini. Teknik memasak seperti ini diyakini mampu menambah aroma khas yang tidak bisa didapatkan dari kompor gas atau listrik.
Warisan Kuliner yang Patut Dilestarikan
Serabi Tempe Pulosari bukan sekadar jajanan, melainkan warisan budaya kuliner yang menggambarkan nilai-nilai kesederhanaan, kebersamaan, dan kekayaan alam lokal. Keunikan cara penyajiannya dan proses memasaknya mencerminkan kearifan lokal yang patut dilestarikan.
Dengan meningkatnya perhatian terhadap kuliner lokal dan wisata berbasis budaya, Serabi Tempe Pulosari memiliki potensi besar untuk dipromosikan sebagai ikon kuliner Pemalang Selatan. Dukungan dari pemerintah daerah dan promosi melalui media sosial dapat memperluas jangkauan pasar serta mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis komunitas.
Serabi Tempe Pulosari tidak hanya memanjakan lidah, tapi juga menjadi cermin dari kehidupan harmonis di kaki Gunung Slamet yang kaya akan tradisi dan semangat gotong royong.