JAKARTA — Di tengah tantangan ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) ke pasar internasional akibat kebijakan lingkungan Uni Eropa, pemerintah dan parlemen mendorong penguatan hilirisasi industri sawit dalam negeri. Salah satu langkah strategis yang diusulkan adalah peningkatan produksi biodiesel untuk menekan defisit bahan bakar minyak (BBM) nasional serta mengurangi ketergantungan terhadap impor energi.
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, mengungkapkan bahwa ekspor CPO Indonesia mengalami penurunan drastis dari yang sebelumnya mencapai hampir 80 persen menjadi hanya sekitar 7 persen. Hal ini disebabkan oleh regulasi ketat seperti European Union Deforestation Regulation (EUDR) dan Renewable Energy Directive (RED) II, yang membatasi penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biofuel.
“Adapun selebihnya, sudah diolah menjadi produk turunan sawit itu sendiri,” jelas Lamhot dalam keterangannya yang dikutip pada SabtU.
Lamhot menyambut baik langkah pemerintah dalam mendorong hilirisasi sawit, tidak hanya untuk kebutuhan pangan dan industri rumah tangga seperti minyak goreng dan deterjen, tetapi juga sebagai solusi strategis untuk sektor energi. Ia menekankan bahwa biodiesel dari kelapa sawit dapat menjadi alternatif penting guna mengatasi defisit BBM nasional.
“Kita ingin mendorong industri sawit untuk memproduksi industri turunan untuk biodiesel untuk menutupi defisitnya BBM kita atau mengurangi angka importasi BBM kita,” ujar Lamhot.
Menurut data yang disampaikan Lamhot, kebutuhan BBM Indonesia per hari mencapai sekitar 2 juta barel, sementara produksi dalam negeri (lifting migas) hanya mampu memenuhi sekitar 600 ribu barel per hari. Artinya, Indonesia masih mengimpor antara 1,4 juta hingga 1,6 juta barel BBM per hari untuk menutupi kebutuhan energi nasional.
Ketergantungan terhadap impor energi tersebut sangat membebani keuangan negara. Pemerintah harus mengalokasikan dana subsidi BBM yang besar setiap tahunnya. “Saat ini kita harus mengeluarkan anggaran subsidi BBM sekitar Rp300 sampai Rp400 triliun per tahun,” ungkapnya.
Lamhot menilai, apabila seluruh industri sawit nasional dapat dialihkan untuk produksi biodiesel secara masif, maka bukan hanya defisit energi yang bisa ditekan, tetapi juga pengeluaran subsidi negara dapat berkurang drastis. Dana subsidi itu, lanjutnya, dapat dialokasikan ke sektor lain yang lebih mendesak seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Selain manfaat energi, ia juga menyoroti potensi produk turunan sawit untuk sektor nutrisi, khususnya dalam mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi pemerintah. Lamhot menyebut, sejumlah negara Eropa seperti Belanda telah lama memanfaatkan turunan sawit sebagai suplemen gizi anak-anak.
“MBG tujuannya adalah untuk anak-anak kita supaya mendapat asupan gizi yang cukup. Ternyata sawit ini juga adalah sumber nutrisi sebagai pengganti suplemen, dan ini sudah umum digunakan di negara-negara lain,” ujarnya.
Menurutnya, pemanfaatan sawit sebagai sumber nutrisi tambahan juga sejalan dengan visi pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang unggul pada masa depan. Ia menambahkan bahwa suplemen dari turunan sawit telah terbukti meningkatkan kualitas hidup di negara-negara yang menggunakannya secara teratur.
“Hanya itu saja yang dia (Belanda) pakai, dan memang sudah terbukti bahwa ketika itu dikonsumsi, long life-nya lebih tinggi karena gizinya tercukupi,” pungkas Lamhot.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Perindustrian sebelumnya juga telah menetapkan target peningkatan penggunaan biodiesel sebagai bagian dari mandatori B35 dan rencana jangka panjang menuju B40. Ini artinya, campuran biodiesel dalam bahan bakar solar akan ditingkatkan secara bertahap.
Pengembangan biodiesel berbasis sawit diyakini akan membuka banyak peluang ekonomi, termasuk penyerapan tenaga kerja dan peningkatan nilai tambah dalam negeri. Hilirisasi ini juga akan memperkuat posisi tawar Indonesia dalam negosiasi dagang global, terutama ketika menghadapi regulasi ketat dari pasar Uni Eropa.
Dengan potensi besar industri sawit dan dorongan kuat dari parlemen, transformasi energi melalui biodiesel berbasis sawit diharapkan tidak hanya menekan defisit BBM, tetapi juga menjadi motor utama ketahanan energi nasional yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.