JAKARTA — Harga minyak mentah dunia kembali mengalami kenaikan signifikan selama dua hari berturut-turut, dipicu oleh meningkatnya tekanan Amerika Serikat terhadap ekspor energi Iran serta sinyal positif dari pembicaraan dagang antara AS dan sejumlah mitra utamanya. Kenaikan ini menjadi yang terbesar sejak awal Januari 2025 dan mendorong harga minyak West Texas Intermediate (WTI) mendekati US$65 per barel.
Menurut data pasar, harga WTI naik sebesar 3,5% pada penutupan perdagangan terbaru. Lonjakan ini mencerminkan sentimen pasar yang mulai kembali optimistis, menyusul dinamika geopolitik dan perkembangan makroekonomi yang terjadi sepanjang pekan kedua April 2025.
Optimisme tersebut diperkuat oleh pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyebut peluang tercapainya kesepakatan dagang dengan Uni Eropa semakin terbuka lebar. Selain itu, negosiasi yang berlangsung antara AS dan Jepang juga memperkuat harapan tercapainya kesepakatan untuk menghindari dampak negatif dari kebijakan tarif yang selama ini membayangi pasar global.
Sementara itu, lonjakan harga minyak turut dipengaruhi oleh aksi beli menutup posisi jual (short covering) serta algoritma perdagangan yang mulai menunjukkan pergerakan ke arah optimistis menjelang libur panjang akhir pekan. Diketahui, perdagangan kontrak berjangka minyak akan diliburkan pada Jumat (18/4/2025) karena perayaan hari libur di sejumlah negara, sehingga volume perdagangan diperkirakan menurun.
Tekanan AS terhadap Iran Meningkat
Faktor geopolitik turut memainkan peran penting dalam lonjakan harga minyak kali ini. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, mengungkapkan bahwa pemerintah AS akan menerapkan tekanan maksimum terhadap rantai pasokan minyak Iran. Langkah ini dilakukan dengan menjatuhkan sanksi baru terhadap kilang kedua di China yang dituding mengelola minyak mentah asal Iran.
Sanksi terbaru ini menarget kilang independen Shandong Shengxing Chemical Co., yang menurut Departemen Keuangan AS telah mengelola minyak mentah Iran senilai lebih dari US$1 miliar. Tindakan ini semakin mempertegang hubungan antara Washington dan Teheran di tengah upaya negosiasi nuklir yang tengah berlangsung.
Teheran pun merespons dengan peringatan bahwa perundingan nuklir dengan AS bisa gagal jika pemerintahan Trump terus menerapkan pendekatan konfrontatif dan mengubah aturan main di tengah jalan. Ketegangan ini membuat pasar semakin waspada terhadap kemungkinan terganggunya pasokan minyak global dari kawasan Timur Tengah.
Rebecca Babin, pedagang senior energi dari CIBC Private Wealth Group, mengatakan bahwa dinamika geopolitik saat ini dapat menjadi pemicu utama reli atau justru pembalikan harga di pasar minyak dunia.
“Meski latar belakang makroekonomi masih beragam, faktor ini dapat memperkuat reli pasar atau justru menggagalkannya, tergantung bagaimana ketegangan geopolitik ini berkembang,” ujar Rebecca.
Data Persediaan Minyak AS Dukung Rebound
Kenaikan harga minyak juga didukung oleh laporan terbaru dari pemerintah AS yang menunjukkan bahwa persediaan minyak di pusat penyimpanan Cushing, Oklahoma — titik utama pengiriman minyak WTI — berada pada level terendah untuk periode ini sejak tahun 2008. Hal ini memberikan sinyal bahwa permintaan minyak dalam negeri AS tetap tinggi meski ada ketidakpastian global.
Imbas dari data tersebut terlihat pada pergerakan harga kontrak jangka pendek. Selisih harga prompt WTI tercatat menyentuh level terkuat sejak Februari, yang menunjukkan tekanan pasokan di pasar fisik.
Tantangan Tetap Ada di Tengah Kenaikan
Meski tren harga saat ini menunjukkan penguatan, pasar tetap dibayangi oleh sejumlah tantangan. Tekanan dari kebijakan perdagangan pemerintahan Trump sebelumnya sempat membuat harga minyak tertekan dan bahkan sempat diperdagangkan sekitar 30% lebih rendah dibandingkan dengan level tertingginya di awal 2025.
Selain itu, ketidakpastian arah kebijakan moneter global dan potensi perlambatan ekonomi di beberapa negara besar juga menjadi variabel yang terus dipantau oleh investor dan analis pasar.