JAKARTA — Pemerintah resmi menetapkan kebijakan penghentian impor garam industri per 31 Desember 2025 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembangunan Garam Nasional. Langkah ini merupakan bagian dari target ambisius pemerintah untuk mencapai swasembada garam nasional, khususnya untuk kebutuhan industri aneka pangan dan tekstil.
Namun, rencana tersebut menuai sorotan dari kalangan pengusaha, khususnya pelaku industri makanan dan minuman. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, menegaskan bahwa meski mendukung program peningkatan pemanfaatan garam lokal, pemerintah harus tetap membuka peluang relaksasi impor dalam kondisi tertentu.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pangan dan KKP. Berdasarkan aturan itu, akan ada relaksasi apabila dalam negeri tidak bisa menyediakan. Pemerintah bisa memberi izin impor,” ujar Adhi.
Kebutuhan Industri Tidak Seragam
Adhi menjelaskan bahwa tidak semua jenis industri bisa menggunakan garam lokal karena perbedaan standar kualitas dan spesifikasi. Untuk produk makanan tertentu seperti ikan asin atau kecap, garam lokal dinilai masih dapat dimanfaatkan. Namun, untuk produk olahan kering atau yang memerlukan standar kemurnian tinggi, seperti makanan ringan atau produk instan, garam lokal belum mampu memenuhi persyaratan teknis.
“Untuk garam ikan asin atau kecap mungkin masih bisa pakai lokal. Tapi untuk produk kering, garam lokal belum memenuhi spesifikasi,” katanya.
Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan program substitusi impor garam tidak hanya bergantung pada ketersediaan kuantitas, tetapi juga pada kualitas bahan baku yang bisa diandalkan oleh industri.
Produksi Bergantung Cuaca
Selain kendala kualitas, faktor cuaca juga menjadi tantangan utama dalam produksi garam nasional. Menurut Adhi, produksi garam sangat bergantung pada iklim dan cuaca yang bersahabat. Dalam kondisi cuaca ekstrem atau musim hujan berkepanjangan, hasil panen garam dapat turun drastis, bahkan pernah berada di bawah 100.000 ton secara nasional dalam satu tahun.
“Kami setuju dorong produksi hulu garam terus ditingkatkan. Tapi harus diingat, garam industri beda dengan garam konsumsi. Kita bicara soal kualitas dan jumlah. Jangan sampai saat tidak tersedia, industri malah terhambat,” ucapnya menekankan pentingnya keberlanjutan pasokan.
Fokus Peningkatan Produksi Domestik
Dalam Perpres Nomor 17 Tahun 2025 disebutkan bahwa seluruh kebutuhan garam industri, khususnya untuk aneka pangan dan tekstil, wajib dipenuhi dari hasil produksi petambak garam dan badan usaha lokal paling lambat pada 31 Desember 2025. Pemerintah berharap dengan kebijakan ini, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada impor garam, yang selama ini menjadi solusi cepat dalam mengatasi kelangkaan pasokan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya juga telah menyatakan bahwa target untuk menghentikan impor garam industri pada 2027 adalah langkah yang realistis, asalkan didukung oleh anggaran dan infrastruktur yang memadai.
“Target setop impor garam industri 2027 sangat realistis, selama dana siap dan produksi lokal ditingkatkan secara serius,” ujar Trenggono dalam kesempatan terpisah.
Harapan Pelaku Industri
Pelaku industri makanan dan minuman berharap pemerintah tidak hanya fokus pada aspek larangan impor, tetapi juga aktif mendukung petambak lokal dalam meningkatkan kualitas produksi. Ini mencakup pembangunan infrastruktur pendukung seperti gudang penyimpanan, akses pasar, serta pelatihan pengolahan garam industri sesuai standar kebutuhan.
GAPMMI menilai, pendekatan yang kolaboratif dan realistis akan lebih efektif dalam mencapai swasembada garam tanpa mengorbankan kelangsungan industri dalam negeri yang bergantung pada bahan baku berkualitas tinggi.
“Kami mendukung pemanfaatan garam lokal, tapi perlu solusi komprehensif untuk menjamin kualitas dan kontinuitas pasokan. Jangan sampai industri menjadi korban kebijakan yang belum siap dijalankan,” tutup Adhi.