JAKARTA - Langkah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang memanggil sejumlah wajib pajak kaya atau dikenal sebagai crazy rich belakangan menarik perhatian publik.
Di tengah berbagai spekulasi, otoritas pajak menegaskan bahwa tindakan tersebut bukanlah upaya penindakan, melainkan bagian dari proses klarifikasi dan pencocokan data kepatuhan perpajakan.
Penjelasan itu disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2025. Ia menegaskan bahwa pemanggilan high wealth individual merupakan kegiatan rutin yang dijalankan sesuai tugas dan kewenangan Ditjen Pajak.
Menurut Bimo, pendekatan yang dilakukan tetap mengedepankan edukasi dan komunikasi. Wajib pajak diberi ruang untuk memberikan penjelasan atas data yang dinilai perlu diklarifikasi agar kewajiban perpajakan dapat dipenuhi secara benar.
Klarifikasi Data Menjadi Fokus Utama
Direktorat Jenderal Pajak menekankan bahwa pemanggilan wajib pajak kaya dilakukan dalam rangka mencocokkan data yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan dengan data yang dimiliki otoritas pajak. Proses ini bertujuan memastikan kesesuaian antara laporan wajib pajak dan informasi yang tersedia di sistem.
Bimo menjelaskan, data yang digunakan tidak hanya berasal dari internal Ditjen Pajak. Otoritas pajak juga memanfaatkan data dari sekitar seratus tujuh puluh instansi, lembaga, asosiasi, serta pemerintah daerah yang telah bekerja sama dalam pertukaran informasi.
Selain itu, Ditjen Pajak memperoleh data dari pihak ketiga melalui mekanisme pertukaran data internasional. Data tersebut mencakup informasi inbound dari skema Automatic Exchange of Information yang menjadi salah satu instrumen penting dalam pengawasan kepatuhan pajak.
Pendekatan Edukatif dan Persuasif
Dalam menjalankan proses klarifikasi, Ditjen Pajak mengedepankan pendekatan yang bersifat edukatif, persuasif, dan konsultatif. Bimo menegaskan bahwa pemanggilan wajib pajak kaya bukan dimaksudkan untuk langsung mengenakan sanksi atau tindakan hukum.
Melalui pendekatan tersebut, wajib pajak diberikan kesempatan untuk menjelaskan kondisi sebenarnya terkait laporan perpajakan mereka. Jika terdapat kekeliruan, wajib pajak juga dipersilakan melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan secara sukarela.
Tujuan utama dari langkah ini adalah memastikan pemenuhan kewajiban perpajakan telah dilakukan secara benar dan sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, proses klarifikasi diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan tanpa menimbulkan kesan represif.
Pemanggilan Sebagai Bagian Tugas Rutin
Bimo menegaskan bahwa pemanggilan high wealth individual merupakan bagian dari tugas rutin Ditjen Pajak. Kegiatan tersebut dilakukan sebagai upaya pengawasan yang wajar terhadap kelompok wajib pajak dengan profil kekayaan tertentu.
Ia menambahkan bahwa otoritas pajak memiliki tanggung jawab untuk menjaga basis penerimaan negara. Oleh karena itu, pengawasan terhadap wajib pajak dengan potensi kontribusi besar dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.
Meski demikian, Ditjen Pajak tetap berupaya menjaga komunikasi yang baik dengan wajib pajak. Pendekatan dialogis diharapkan mampu membangun kesadaran bahwa kepatuhan pajak merupakan tanggung jawab bersama dalam mendukung pembangunan nasional.
Pemanfaatan Data Kepemilikan Manfaat
Dalam kesempatan terpisah, Bimo juga menjelaskan bahwa pemanggilan wajib pajak kaya dilakukan dalam konteks konsultasi atas data yang dinilai belum terkomunikasikan dengan baik. Salah satu data yang dimaksud adalah informasi kepemilikan manfaat atau beneficial ownership.
Ia menyinggung bahwa masih terdapat wajib pajak kaya yang belum sepenuhnya memahami bahwa otoritas pajak memiliki akses terhadap data kepemilikan manfaat. Data ini menjadi instrumen penting dalam melakukan benchmarking kepatuhan wajib pajak.
Menurut Bimo, sebagian wajib pajak mungkin beranggapan bahwa data tersebut tidak dapat diakses oleh otoritas pajak. Akibatnya, informasi tertentu tidak dimasukkan dalam laporan Surat Pemberitahuan Tahunan yang disampaikan.
Pertukaran Data Antarinstansi
Direktorat Jenderal Pajak terus memperkuat kerja sama pertukaran data dengan berbagai instansi. Langkah ini bertujuan meningkatkan akurasi pengawasan dan mempersempit ruang ketidakpatuhan perpajakan.
Data yang diperoleh dari instansi lain menjadi pelengkap informasi yang telah dimiliki otoritas pajak. Dengan basis data yang lebih komprehensif, proses klarifikasi dapat dilakukan secara objektif dan terukur.
Bimo menyebut bahwa pemanfaatan data lintas instansi merupakan praktik umum yang diterapkan di banyak negara. Indonesia pun terus menyesuaikan diri dengan standar internasional dalam hal transparansi dan pertukaran informasi perpajakan.
Upaya Membangun Kepatuhan Sukarela
Melalui langkah klarifikasi terhadap wajib pajak kaya, Ditjen Pajak berharap dapat mendorong peningkatan kepatuhan secara sukarela. Edukasi dan komunikasi menjadi kunci agar wajib pajak memahami kewajiban serta konsekuensi perpajakan.
Pendekatan ini dinilai lebih efektif dibandingkan langkah penindakan semata. Dengan memberikan pemahaman yang memadai, wajib pajak diharapkan dapat memperbaiki laporan mereka tanpa paksaan.
Pada akhirnya, Bimo menegaskan bahwa tujuan utama pemanggilan tersebut adalah memastikan sistem perpajakan berjalan adil dan transparan. Kepatuhan wajib pajak, termasuk dari kelompok berpenghasilan tinggi, menjadi fondasi penting bagi keberlanjutan penerimaan negara dan pembangunan ekonomi nasional.