Aturan Repricing Premi Asuransi Kesehatan yang Wajib Dipahami

Sabtu, 06 Desember 2025 | 10:11:49 WIB
Aturan Repricing Premi Asuransi Kesehatan yang Wajib Dipahami

JAKARTA - Di tengah meningkatnya kebutuhan perlindungan kesehatan dan tekanan biaya medis, publik kerap mempertanyakan bagaimana perusahaan asuransi menetapkan premi. 

Kekhawatiran mengenai potensi kenaikan harga yang tiba-tiba pun muncul, terutama ketika inflasi medis terus menjadi tantangan. Untuk menjawab hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan adanya batasan ketat dalam mekanisme penyesuaian premi.

Dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama Dewan Komisioner OJK pada Kamis, Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non Bank OJK Ogi Prastomiyono memberikan gambaran jelas mengenai aturan tersebut.

Ia meluruskan persepsi bahwa perusahaan asuransi tidak memiliki keleluasaan untuk menaikkan premi kapan saja selama polis masih berjalan.

Kapan Perusahaan Boleh Mengubah Harga Premi

Ogi menjelaskan bahwa perubahan premi, atau repricing, hanya dapat dilakukan dalam kondisi tertentu. Jika seorang peserta masih berada dalam masa kontrak aktif, premi yang dibayar harus tetap sesuai kesepakatan awal. Perusahaan tidak diperkenankan mengubah harga secara sepihak.

“Apakah perusahaan asuransi boleh melakukan repricing, perubahan harga premi di setiap saat? Ini kami atur bahwa itu tidak bisa,” ujar Ogi menegaskan dalam rapat tersebut.

Menurut ketentuan, penyesuaian premi hanya boleh dilakukan ketika masa kontrak peserta telah selesai dan memasuki periode perpanjangan. Artinya, perubahan baru dapat berlaku pada kontrak baru atau kontrak perpanjangan, bukan di tengah-tengah periode perlindungan.

Selain itu, OJK juga membatasi bahwa peninjauan ulang premi hanya bisa dilakukan maksimal satu kali dalam setahun. Adapun faktor yang dapat menjadi dasar penyesuaian adalah riwayat klaim peserta, peningkatan risiko, dan pengaruh inflasi medis. 

Dengan pembatasan ini, penetapan harga premi menjadi lebih terukur dan melindungi peserta dari lonjakan biaya mendadak.

Aturan Masa Tunggu dan Perubahannya

Di luar isu premi, Ogi juga memaparkan aturan mengenai masa tunggu (waiting period) untuk peserta individu. Masa tunggu adalah durasi yang harus dilalui sebelum peserta dapat mengajukan klaim setelah polis resmi aktif. Ketentuan ini penting untuk mencegah adverse selection, yakni kondisi ketika seseorang membeli asuransi hanya saat membutuhkan layanan medis segera.

Dalam regulasi yang berlaku, masa tunggu untuk peserta individu ditetapkan maksimal 30 hari sejak polis aktif. Selama periode ini, peserta tidak dapat mengajukan klaim. Ketentuan ini sudah menjadi standar dalam industri dan tetap mempertahankan arah perlindungan bagi perusahaan maupun peserta.

Sementara itu, bagi peserta yang memiliki penyakit kronis atau kondisi khusus sebagaimana tercantum dalam polis, masa tunggunya lebih panjang. Saat ini, masa tunggu untuk kondisi tersebut adalah enam bulan. Ogi menekankan bahwa ketentuan ini lebih pendek dibanding aturan sebelumnya.

“Di ketentuan sebelumnya, produk sebelumnya, itu 12 bulan. Ya kita memajukan bahwa ini perlu lebih cepat karena rata-rata produk itu 12 bulan. 

Jadi kalau itu 12 bulan masa tunggunya, ya dia hanya membayar premi tapi tidak bisa memberikan manfaat. Jadi kita setelah diskusi lebih lanjut ya kita menetapkan 6 bulan sebagai masa tunggu untuk klaim yang penyakit kritis atau kronisnya,” jelas Ogi.

Dengan pemangkasan masa tunggu, peserta diharapkan mendapatkan manfaat perlindungan yang lebih cepat tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian dari perusahaan asuransi.

Penerapan Masa Tunggu di Polis Individu dan Kumpulan

Lebih jauh, Ogi menjelaskan bahwa masa tunggu hanya berlaku pada periode pertanggungan pertama. Ketika peserta memperpanjang polisnya di tahun berikutnya, masa tunggu tidak lagi diterapkan. Dengan demikian, peserta yang secara konsisten memperpanjang perlindungan dapat langsung menerima manfaat tanpa jeda tambahan.

“Jadi sudah bisa langsung menjadi efektif untuk produk asuransi,” kata Ogi.

Untuk asuransi kumpulan atau group insurance, aturan masa tunggu bersifat lebih fleksibel. Masa tunggu ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pemegang polis—biasanya perusahaan atau institusi—dan perusahaan asuransi. Artinya, durasi masa tunggu dapat berbeda-beda tergantung negosiasi kontraktual.

Skema ini memberikan keleluasaan bagi perusahaan dalam menyusun paket perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan karyawan atau anggota kelompok tertentu. Namun, tetap berada dalam koridor regulasi agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi peserta.

Upaya OJK Menjamin Kepastian Harga dan Perlindungan Konsumen

Dengan berbagai ketentuan tersebut, OJK berupaya menjaga keseimbangan antara kesehatan finansial perusahaan asuransi dan perlindungan konsumen. Pembatasan repricing dalam kontrak berjalan mencegah peserta dari kenaikan premi mendadak yang dapat membebani mereka. 

Di sisi lain, peluang peninjauan premi setahun sekali memberikan ruang bagi perusahaan untuk tetap beradaptasi terhadap risiko yang berkembang.

Inflasi medis, riwayat klaim, dan perubahan profil risiko adalah realitas industri yang tidak bisa diabaikan. Namun, seluruh proses harus dilakukan secara terukur dan terjadwal. Regulasi yang tegas juga menjadi upaya mendorong transparansi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi kesehatan.

Terkini

Mitratel Fokus Pulihkan Ribuan Titik Jaringan Sumatra

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:27:48 WIB

Wings Air Buka Tiga Rute Baru dari Bandung 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:27:47 WIB

KM Sinabung Pelni Desember 2025: Rute dan Tiket Lengkap

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:27:44 WIB

Sugar Co Ambil Alih Tiga Pabrik Gula Milik ID FOOD

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:27:39 WIB

Jadwal DAMRI Jogja ke Bandara YIA, Tiket dan Rute Lengkap

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:27:30 WIB