JAKARTA - Kewajiban sertifikasi bebas Cesium-137 (Cs-137) kini mendorong pelaku usaha perikanan untuk memperkuat standar ekspor mereka, terutama untuk pasar Amerika Serikat (AS).
Ketentuan yang diberlakukan pemerintah AS tersebut membuat industri udang nasional bergerak cepat memastikan bahwa rantai produksi tetap memenuhi syarat internasional, sehingga ekspor tidak terganggu.
Dengan posisi udang sebagai komoditas unggulan ekspor, para pengusaha melihat kepatuhan pada sertifikasi sebagai langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan pasar. Hal inilah yang menegaskan keseriusan sektor perikanan dalam mempertahankan kepercayaan AS selaku buyer utama.
Sertifikasi Dianggap Krusial untuk Menjaga Kepercayaan Pasar AS
Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) memastikan pelaku usaha mengikuti kewajiban sertifikasi bebas Cs-137 untuk menjaga kelancaran ekspor udang ke Amerika Serikat (AS).
Sertifikasi ini merupakan syarat yang diberlakukan pemerintah AS setelah muncul temuan kontaminasi kandungan Cs-137 beberapa waktu lalu. Ketua AP5I, Saut Hutagalung, menegaskan bahwa pemenuhan sertifikasi menjadi prioritas agar ekspor tidak terhambat.
"Karena kalau kita itu berdagang dengan AS, atau dengan negara manapun, tentu kita harus memenuhi persyaratannya," ujarnya kepada Kontan usai pelepasan ekspor udang ke AS di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Ia menekankan, pemenuhan persyaratan dilakukan terlebih dahulu agar operasional budidaya tidak terganggu. Walaupun begitu, Saut menyampaikan bahwa AP5I bersama pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap keberlanjutan kewajiban sertifikasi.
"Karena, pertama, kita tidak ada reaktor nuklir, tidak ada bahan-bahan nuklir. Kemudian, ini juga menjadi beban biaya, waktu, tenaga,” jelasnya.
Evaluasi tersebut dinilai penting untuk mendorong Indonesia keluar dari yellow list Food and Drug Administration (FDA) AS. Dengan status yang lebih baik, proses ekspor dapat berjalan lebih lancar dan efisien ke depannya.
Biaya Sertifikasi Menjadi Tantangan, Namun Kini Lebih Terjangkau
Menurut Saut, biaya sertifikasi pada tahap awal menjadi tanggungan pelaku usaha. Saat ini, biaya uji produk di luar negeri dapat mencapai Rp 4 juta per sampel. Angka ini tentu cukup besar, terlebih jika pengujian dilakukan secara rutin dalam jumlah banyak.
Namun, biaya menjadi lebih ringan setelah adanya dukungan fasilitas laboratorium dalam negeri yang disediakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Pengujian di Indonesia dinilai memangkas beban biaya secara signifikan.
"Jadinya, maksimal Rp 2 juta ya, mungkin sekitar Rp 1,8 juta. Tapi satu sampel itu ‘kan mewakili 10 kontainer," imbuh Saut.
Selain biaya yang lebih murah, waktu pengujian juga lebih cepat. Pemeriksaan dalam negeri rata-rata membutuhkan waktu tujuh hari, jauh di bawah proses pengujian luar negeri yang bisa mencapai dua minggu.
Ke depan, Saut menjelaskan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga ditargetkan memperkuat fasilitas laboratorium sendiri guna menyediakan layanan pemindaian atau pengujian yang lebih mudah diakses pelaku usaha.
Langkah ini dianggap strategis untuk mengurangi ketergantungan pada fasilitas eksternal dan mempercepat proses sertifikasi tiap batch produk yang akan dikirim ke luar negeri.
Jaga Kelancaran Ekspor, Hindari Kehilangan Pasar Udang di AS
Dalam pernyataannya, Saut menegaskan bahwa menjaga kelancaran ekspor merupakan isu yang sangat penting. Pelaku usaha tidak ingin posisi Indonesia di pasar AS tergeser oleh negara pesaing, mengingat persaingan pasar perikanan global sangat ketat.
"Kelancaran itu yang kita jaga. Jangan sampai pasar kita di AS terganggu. Karena satu kali pasar kita itu diambil negara lain, kita akan susah untuk merebut kembali," pungkasnya.
Upaya memenuhi sertifikasi Cs-137 dianggap sebagai bentuk adaptasi terhadap standar internasional sekaligus menjaga keberlanjutan ekspor udang Indonesia. Pasar AS merupakan salah satu tujuan terbesar yang menyumbang nilai tinggi bagi industri perikanan nasional, sehingga menjaga reputasi produk menjadi suatu keharusan.
Ekspor Udang Bersertifikat Tetap Berjalan di Tengah Penyesuaian
Meski dihadapkan pada tuntutan sertifikasi tambahan, ekspor udang Indonesia tetap berjalan. Pada hari Rabu, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kembali melepas ekspor udang bersertifikat bebas Cs-137 ke AS sebanyak 182 ton dengan nilai Rp 25 miliar.
Sejak 31 Oktober hingga 2 Desember 2025, Indonesia telah mengirimkan sebanyak 303 kontainer, terdiri dari 228 kontainer dari Surabaya dan 75 kontainer dari Jakarta. Total volume ekspor mencapai 5.218 ton dengan nilai Rp 949 miliar.
Data tersebut menunjukkan bahwa meskipun sertifikasi membutuhkan biaya dan penyesuaian operasional, industri udang Indonesia mampu mempertahankan konsistensi ekspornya. Penyesuaian regulasi dianggap sebagai fase sementara hingga kondisi betul-betul stabil.
Dengan komitmen pengusaha, dukungan laboratorium nasional, dan penguatan regulasi dari pemerintah, Indonesia optimistis mempertahankan kepercayaan pasar AS sekaligus memperkuat daya saing produk udang nasional di tingkat global.