Surabaya Perkuat Strategi Bangunan Hemat Energi dan Rendah Emisi

Rabu, 03 Desember 2025 | 10:24:00 WIB
Surabaya Perkuat Strategi Bangunan Hemat Energi dan Rendah Emisi

JAKARTA - Pemerintah Kota Surabaya bersama konsorsium Sustainable Energy Transition in Indonesia (SETI) merilis Studi Baseline Energy Consumption sebagai pijakan penting dalam memahami pola penggunaan energi di perkotaan.

Studi yang mencakup 305 bangunan tersebut memetakan konsumsi energi mulai dari gedung pemerintah, komersial, sosial, hingga hunian.

Hasil studi menunjukkan bahwa emisi operasional bangunan di Surabaya pada 2024 diperkirakan menembus lebih dari 4,8 juta ton CO₂. Sebagai perbandingan, DKI Jakarta berada pada kisaran 19 juta ton CO₂. Data ini menggarisbawahi bahwa Surabaya menghadapi tantangan besar dalam menurunkan emisi sektor bangunan yang terus tumbuh.

Kepala Bappedalitbang Surabaya, Irvan Wahyudrajad, menilai temuan tersebut sangat strategis bagi arah kebijakan kota. Ia menegaskan bahwa hasil studi akan membantu pemerintah mengidentifikasi area paling boros energi dan merancang pendekatan lebih presisi untuk mewujudkan kota rendah karbon.

penyusunan kebijakan energi yang lebih terukur

Irvan menjelaskan bahwa data yang solid merupakan modal utama untuk memperkuat langkah Surabaya dalam mencapai target lingkungan yang telah tertuang dalam RPJMD. Dengan pemetaan konsumsi energi secara rinci, pemerintah memiliki landasan kuat untuk membuat regulasi yang lebih efektif.

"Dengan data yang lebih solid, kami bisa menyusun kebijakan yang lebih presisi untuk menurunkan emisi dan meningkatkan efisiensi energi di sektor bangunan," ujarnya dalam keterangan tertulis.

Salah satu temuan penting dari laporan tersebut adalah dominannya pelanggan rumah tangga R1M 900 VA non-subsidi yang menyumbang sekitar 20 persen dari total penjualan listrik pada 2024. Sektor ini menjadi fokus penting mengingat kontribusinya yang besar terhadap konsumsi energi kota.

Pada sektor non-residensial, rumah susun tercatat sebagai pengguna energi paling intensif dengan EUI 491,75 kWh/m²/tahun. Disusul bangunan komersial sebesar 361,53 kWh/m²/tahun. Angka ini menandakan bahwa efisiensi energi di sektor hunian vertikal dan komersial perlu menjadi prioritas utama.

potret konsumsi energi dan peluang penghematan

Dalam kategori hunian, konsumsi energi rumah tapak sangat dipengaruhi oleh penggunaan AC. Studi mencatat rumah dengan AC memiliki median konsumsi hingga 380,55 kWh/m²/tahun, hampir dua kali lipat dari rumah tanpa AC.

Bahkan, setiap penambahan satu unit AC dapat menyebabkan lonjakan konsumsi listrik 107–114 kWh per bulan. Kondisi ini menunjukkan perlunya edukasi dan insentif penghematan energi bagi masyarakat, khususnya terkait penggunaan pendingin ruangan.

Laporan itu juga mengungkap selisih besar antara rata-rata dan median konsumsi energi pada beberapa kategori bangunan. 

Artinya, terdapat bangunan yang menggunakan energi jauh lebih tinggi dari batas umum. Contoh paling nyata adalah bangunan pemerintah yang hanya mencakup 1 persen dari total pelanggan non-residensial, namun menyumbang 9 persen konsumsi listrik.

Manajer Proyek SETI dari IESR, Malindo Wardana, menilai temuan studi ini sudah cukup kuat untuk menjadi dasar kebijakan. Ia menyatakan bahwa hasil riset dapat digunakan segera untuk benchmarking energi, insentif retrofitting, hingga percepatan adopsi PLTS atap.

“Surabaya memiliki peluang besar menjadi kota percontohan dalam efisiensi energi dan transisi energi,” ujarnya.

potensi besar pengembangan PLTS atap di surabaya

Penelitian tersebut juga memetakan potensi PLTS atap di Surabaya tanpa memasukkan kawasan industri. Kapasitas totalnya diperkirakan mencapai 379 MWp dengan produksi energi sekitar 568,6 GWh per tahun.

Jika dikembangkan, energi sebesar itu dapat mengurangi emisi hingga 494.645 ton CO₂. Potensinya setara suplai listrik untuk sekitar 134.877 rumah tangga dengan konsumsi rata-rata 351 kWh per bulan.

Malindo menegaskan bahwa potensi tersebut bukan hanya besar, melainkan sangat layak dikembangkan. Studi juga memberikan gambaran lokasi prioritas yang dapat dimanfaatkan pemerintah kota untuk mempercepat adopsi PLTS atap pada sektor hunian maupun bangunan fasilitas umum.

Selain itu, survei terkait potensi Bangunan Gedung Hijau (BGH) menunjukkan respons positif dari pelaku sektor bangunan. Sebanyak 82,41 persen pengelola bangunan non-residensial sudah memahami konsep BGH dan menyatakan minat mengikuti sertifikasi.

“Hasil penilaian menunjukkan lima bangunan pemerintah dan tiga bangunan swasta termasuk kategori paling siap menuju sertifikasi berdasarkan aspek efisiensi energi, manajemen bangunan, penghematan air, dan intensitas energi,” tambah Malindo.

arah baru pembangunan kota rendah karbon

Melalui hasil studi yang komprehensif ini, Surabaya memiliki peluang besar untuk mempercepat transformasi menjadi kota rendah emisi. 

Pemetaan konsumsi energi yang lebih akurat membantu pemerintah merancang intervensi yang tepat sasaran, mulai dari efisiensi bangunan, penggunaan teknologi pendingin yang hemat energi, hingga integrasi energi terbarukan seperti PLTS atap.

Dengan kesiapan pelaku bangunan dan dukungan kebijakan berbasis data, Surabaya berada di jalur yang jelas untuk menjadi percontohan nasional dalam implementasi bangunan hijau dan efisiensi energi. Upaya ini bukan hanya mengurangi jejak karbon, tetapi juga menciptakan tata ruang kota yang lebih nyaman dan berkelanjutan bagi warganya.

Terkini

9 Aplikasi YouTube Tanpa Iklan Terbaik 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 13:43:09 WIB

Mitratel Fokus Pulihkan Ribuan Titik Jaringan Sumatra

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:27:48 WIB

Wings Air Buka Tiga Rute Baru dari Bandung 2025

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:27:47 WIB

KM Sinabung Pelni Desember 2025: Rute dan Tiket Lengkap

Sabtu, 06 Desember 2025 | 11:27:44 WIB