JAKARTA - Indonesia memiliki kekayaan pangan lokal yang terus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, salah satunya tempe.
Dalam beberapa tahun terakhir, tempe tidak hanya kembali dilirik sebagai sumber protein murah, tetapi juga diakui sebagai pangan fungsional dengan manfaat kesehatan yang luas.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bahkan menegaskan bahwa proses fermentasi tempe menjadikannya makanan bernilai tinggi yang sangat relevan untuk program gizi nasional.
Di balik kepopulerannya, tempe ternyata menyimpan potensi signifikan bagi kesehatan, industri pangan, dan ketahanan pangan jangka panjang. Melalui sejumlah presentasi para peneliti BRIN, berbagai keunggulan tempe mulai dari kandungan nutrisinya hingga peluang riset masa depan kembali menjadi sorotan publik.
Tempe sebagai Pangan Fungsional Bernutrisi Tinggi
BRIN menegaskan bahwa fermentasi kedelai menjadi tempe memberikan efek positif yang jauh melampaui sekadar kandungan proteinnya. Fermentasi ini menghasilkan senyawa bioaktif yang berperan penting dalam menjaga kondisi tubuh manusia.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN, Puji Lestari, menyampaikan bahwa tempe terbukti memiliki beragam manfaat, mulai dari antidiare, antidiabetik, antihipertensi, antikanker, hingga antibakteri.
Ia menekankan bahwa manfaat ini menjadikan tempe sangat potensial sebagai pangan fungsional yang menyokong kesehatan masyarakat secara luas.
"Ini penting bagi pengembangan pangan fungsional yang mendukung kesehatan masyarakat," ujarnya dalam webinar NgajiTekProP Seri #23, dilansir dari laman resmi BRIN, Minggu.
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap pangan bergizi terjangkau, tempe dinilai mampu menjawab tantangan tersebut. Selain mudah diolah, tempe juga dapat dikonsumsi oleh berbagai kelompok usia dan cocok untuk mendukung pola makan sehat sehari-hari.
Tempe sebagai Kandidat Superfood Berbasis Biodiversitas
Potensi tempe tidak berhenti pada kandungan gizinya. Dalam diskusi yang sama, Kepala PRTPP BRIN, Satriyo Krido Wahono, menegaskan bahwa tempe akan menjadi salah satu kandidat komoditas utama superfood dalam platform riset Riset Invitasi BRIN tahun depan.
Menurutnya, Indonesia memiliki biodiversitas yang sangat kaya, memungkinkan eksplorasi sumber protein yang lebih luas untuk produksi tempe. Dengan kata lain, bahan dasar tempe tidak harus selalu kedelai, tetapi dapat diambil dari berbagai kacang-kacangan lokal yang potensial.
"Tempe ini menjadi salah satu superfood Indonesia yang akan kami eksplorasi lebih jauh. Riset harus mengarah pada functional food dan superfood berbasis biodiversitas Indonesia untuk mendukung ketahanan pangan dan kesehatan," terangnya.
Dalam konteks ketahanan pangan, tempe juga dinilai strategis karena mampu mendorong program swasembada pangan. Tempe dapat diproduksi oleh industri kecil hingga besar, bahkan dengan peralatan sederhana. Karena itu pula, tempe relevan untuk menunjang program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
Namun, tantangan tetap ada. Salah satunya adalah ketergantungan pada kedelai impor yang berdampak pada stabilitas harga. Foto pedagang tempe di Pasar Kebayoran Lama yang mencerminkan dinamika harga kedelai global menunjukkan bahwa perlu ada inovasi dan diversifikasi bahan baku di masa depan.
Peran Mikroba dan Teknologi Modern dalam Meningkatkan Kandungan Gizi Tempe
Selain menjadi komoditas pangan populer, riset mengenai tempe juga terus berkembang, terutama di bidang teknologi bioproses. Periset PRTPP BRIN, Andri Frediansyah, menjelaskan peran mikroba dalam mengubah senyawa kedelai menjadi bentuk yang lebih mudah diserap tubuh.
Ia menuturkan bahwa kedelai memiliki isoflavone dalam bentuk glikosida. Selama fermentasi dengan kapang Rhizopus maupun bakteri, senyawa tersebut dikonversi menjadi isoflavone aglycone seperti daidzein dan genistein.
"Isoflavon kedelai pada awalnya berada dalam bentuk glikosida dan melalui fermentasi baik oleh kapang Rhizopus maupun bakteri, senyawa tersebut dapat dikonversi menjadi bentuk aglikon seperti daidzein dan genistein," jelas Fred.
Isoflavone aglycone bersifat lebih bioaktif dan jauh lebih cepat diserap tubuh. Jika glikosida membutuhkan waktu sekitar empat jam untuk diserap, maka aglycone hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam.
Dengan kata lain, proses fermentasi tidak hanya meningkatkan rasa dan tekstur tempe, tetapi juga menjadikannya lebih bermanfaat bagi kesehatan.
Teknologi modern turut mendorong optimalisasi proses ini. Berbagai inovasi seperti ko-fermentasi, germinasi, ultrasound, high pressure processing, hingga pulsed electric field kini digunakan untuk meningkatkan efisiensi konversi isoflavon.
Teknologi tersebut bekerja dengan memecah dinding sel kedelai sehingga enzim alami dapat lebih mudah mengubah isoflavon glikosida menjadi bentuk aglikon.
"Proses seperti ultrasound, high pressure, ataupun pulsed electric field dapat membantu memecah dinding sel sehingga enzim dan isoflavon glikosida bertemu dan menghasilkan aglikon. Dengan pendekatan ini, produk berbasis kedelai bisa memiliki kandungan aglikon lebih tinggi," pungkasnya.
Efek Besar Tempe bagi Masa Depan Gizi Nasional
Dengan berbagai penelitian dan inovasi yang terus berjalan, tempe semakin diposisikan sebagai pangan masa depan Indonesia. Selain bernilai ekonomis, tempe juga mendukung gaya hidup sehat karena kaya protein, serat, vitamin, dan senyawa bioaktif penting.
Keunggulannya tidak hanya bermanfaat bagi konsumen, tetapi juga berpotensi menumbuhkan industri pangan lokal yang berbasis bahan baku dalam negeri. Apabila riset mengenai diversifikasi bahan dasar tempe berhasil, Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada kedelai impor secara signifikan.
Sinergi antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan pangan lokal seperti tempe dapat menjadi solusi jangka panjang bagi program gizi nasional. Dengan dukungan riset yang berkelanjutan, tempe tak sekadar makanan rumahan, tetapi juga superfood potensial yang membawa manfaat besar bagi kesehatan dan ketahanan pangan Indonesia.