JAKARTA - Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pangan bergizi tinggi, perhatian mulai mengarah pada sumber-sumber lokal yang ternyata menyimpan keunggulan luar biasa.
Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan hayati perairan yang melimpah, kembali menunjukkan potensinya melalui satu spesies ikan yang selama ini kurang mendapatkan sorotan seluas salmon atau gabus.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan bahwa ikan asal Indonesia justru memiliki kandungan omega-3 tertinggi di dunia. Temuan ini tidak hanya mengubah perspektif mengenai pilihan ikan sehat, tetapi juga membuka peluang besar bagi pengembangan komoditas bernilai ekonomi tinggi.
Sidat, Ikan Lokal dengan Kandungan Omega-3 Mengungguli Salmon
Selama ini, ikan salmon dikenal sebagai ikon asupan omega-3. Namun, penelitian terbaru membuktikan bahwa ikan sidat asal Indonesia menawarkan nilai gizi yang bahkan lebih tinggi.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air BRIN, Gadis Sri Haryani, menyampaikan bahwa kandungan nutrisi sidat terbukti mengungguli salmon maupun gabus.
Menurutnya, kandungan omega-3 berupa DHA dan EPA pada sidat berada di level tertinggi, menjadikannya sumber lemak sehat alami yang sangat berpotensi untuk kebutuhan gizi masyarakat.
"Selama ini, kita selalu mengira salmon yang paling tinggi, ternyata sidat justru memiliki nilai gizi tertinggi," ujar Gadis saat Seminar bertajuk Penguatan Tata Kelola dan Hilirisasi Industri Sidat Sebagai Dasar Perumusan Kebijakan Nasional Perikanan Berkelanjutan, dikutip Minggu.
Selain omega-3, ikan sidat kaya vitamin A, vitamin B kompleks, zat besi, fosfor, protein, serta kalori yang menunjang energi harian tubuh. DHA pada sidat berperan penting untuk perkembangan otak, sedangkan EPA membantu meredakan peradangan dan menjaga kesehatan jantung.
Siklus Hidup Sidat yang Unik dan Rentan Gangguan
Sebagai komoditas strategis, sidat memiliki karakter biologis yang menarik sekaligus menantang. Gadis menjelaskan bahwa ikan ini termasuk spesies dengan siklus hidup katadromus, di mana proses hidupnya berlangsung di tiga ekosistem berbeda.
"Katadromus artinya dia ketika telur dan menetas di laut menjadi leptocephalus atau larva belut yang unik, memiliki bentuk pipih, transparan, dan seperti daun serta tidak punya kemampuan berenang," jelasnya.
Larva kemudian bermigrasi ke wilayah estuari dan berubah menjadi glass eel, sebelum akhirnya tumbuh dewasa di perairan tawar. Perjalanan panjang tersebut membuat sidat sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan. Perubahan wilayah muara, penangkapan glass eel secara berlebihan, hingga gangguan migrasi turut mengancam kelestariannya.
Penelitian BRIN menemukan bahwa tekanan penangkapan dan permintaan pasar yang meningkat menyebabkan pasokan glass eel tidak stabil. Hal ini berujung pada fluktuasi harga yang ekstrem, bahkan pada beberapa periode pasokan tidak terserap industri karena keterbatasan kapasitas hatchery.
Regulasi untuk Menjaga Kelestarian Sidat dan Menstabilkan Industri
Potensi besar sidat tidak boleh menjadi ancaman bagi keberlanjutannya. Karena itu, pemerintah mengambil langkah tegas melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan menerbitkan kebijakan pembatasan kuota penangkapan glass eel. Selain itu, ditetapkan aturan ukuran minimal ekspor minimal 150 gram per ekor.
Regulasi ini bertujuan menurunkan tekanan eksploitasi populasi liar sekaligus mendorong industri pembesaran di dalam negeri. Namun, implementasi kebijakan tersebut menghadapi berbagai tantangan. Kapasitas pembesaran masih terbatas, ketergantungan pada pakan impor tinggi, serta pengawasan yang belum optimal.
Menurut Gadis, tata kelola yang kuat harus dimulai dari ekologi sebagai fondasi utama hilirisasi. Ia menekankan pentingnya konservasi berbasis bukti ilmiah dan perlindungan struktur ekosistem alami perairan.
"Transformasi dari pengekspor bahan mentah menjadi produsen bernilai tinggi, melalui budidaya domestik dan pengembangan industri pengolahan ikan sidat sebagai hilirisasi industri," imbuhnya.
Menuju Ketahanan Ekologi dan Ekonomi Berbasis Sidat
Dengan kekayaan sumber daya sidat yang dimiliki Indonesia, pengembangan industri sidat berpotensi membawa manfaat ganda bagi ekologi dan ekonomi. Ketahanan ekologi tercapai apabila populasi sidat pulih dan terjaga, memastikan keberlanjutan ekosistem perairan tawar dan laut.
Di sisi lain, ketahanan ekonomi terwujud ketika industri sidat mampu menghasilkan nilai tambah tinggi, meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Diversifikasi olahan sidat, teknologi budidaya modern, serta penguatan rantai pasok adalah kunci menuju masa depan industri yang stabil.
Pada akhirnya, Gadis meyakini bahwa strategi pemanfaatan sidat secara bertanggung jawab akan menciptakan keseimbangan antara kebutuhan pangan, nilai ekonomi, dan kelestarian lingkungan.
"Pada akhirnya, pemanfaatan sidat yang bertanggung jawab akan menciptakan nilai tambah sekaligus menjaga kelestarian laut dan perairan tawar Indonesia sebagai fondasi masa depan bangsa," tandasnya.