Rupiah Melemah, Sentimen Global dan Inflasi Jadi Penekan

Rabu, 05 November 2025 | 10:32:15 WIB
Rupiah Melemah, Sentimen Global dan Inflasi Jadi Penekan

JAKARTA - Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu, 5 November 2025, diperkirakan kembali menghadapi tekanan di tengah kombinasi faktor global dan domestik. 

Rupiah berpotensi bergerak melemah di rentang Rp16.700—Rp16.750 per dolar AS, melanjutkan tren pelemahan yang terjadi sehari sebelumnya.

Rupiah ditutup melemah 0,19% ke posisi Rp16.707 per dolar AS, seiring pergerakan pasar yang masih dipengaruhi ketidakpastian kebijakan moneter Amerika Serikat. Sementara itu, indeks dolar AS sendiri justru turun tipis 0,04% ke 99,83, menandakan investor masih menimbang arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed).

Performa Mata Uang Asia Bergerak Campuran

Di kawasan Asia, pergerakan mata uang regional menunjukkan hasil yang bervariasi. Yen Jepang mencatat penguatan sebesar 0,42%, sementara dolar Hong Kong melemah tipis 0,01%.
Di sisi lain, dolar Singapura naik 0,02%, dolar Taiwan melemah 0,18%, dan won Korea Selatan terkoreksi 0,52%.

Mata uang Asia lainnya juga mencatat pergerakan beragam. Peso Filipina naik 0,45%, rupee India menguat 0,13%, serta ringgit Malaysia bertambah 0,04%.
Adapun yuan China dan baht Thailand masing-masing turun 0,07% dan 0,11%.

Kinerja beragam mata uang Asia ini menunjukkan bahwa pelaku pasar masih menunggu kepastian dari kebijakan moneter global, khususnya dari Amerika Serikat yang tengah berada dalam fase transisi kebijakan pasca-pengetatan panjang.

The Fed Belum Pastikan Pelonggaran, Pasar Tetap Waspada

Menurut Ibrahim Assuaibi, pengamat komoditas dan mata uang, tekanan terhadap rupiah kali ini tidak terlepas dari pernyataan terbaru Ketua The Fed Jerome Powell, yang mengisyaratkan bahwa bank sentral AS belum berkomitmen melakukan pelonggaran lebih lanjut.

“Pasar sejak itu telah mengurangi ekspektasi penurunan suku bunga dalam waktu dekat,” ujar Ibrahim.

Ia menambahkan, ketidakpastian meningkat karena sejumlah pejabat The Fed juga menyampaikan pandangan berbeda mengenai arah ekonomi Amerika Serikat. Beberapa pembuat kebijakan menekankan perlunya kewaspadaan terhadap tekanan inflasi, sementara yang lain menyoroti perlambatan pasar tenaga kerja.

“Perpecahan pendapat ini memperkuat keraguan tentang seberapa cepat The Fed akan melanjutkan pemotongan suku bunga, yang akan menjaga dolar tetap kuat,” lanjut Ibrahim.

Selain faktor kebijakan moneter, Ibrahim juga menyoroti situasi politik di AS yang turut menambah tekanan di pasar keuangan global. Penutupan pemerintah AS (government shutdown) kini memasuki hari ke-33, tanpa tanda-tanda penyelesaian. 

Jika kebuntuan ini berlanjut, durasi penutupan bisa melampaui rekor 35 hari, yang berpotensi memperburuk kepercayaan pasar terhadap stabilitas ekonomi Amerika.

Situasi tersebut menciptakan kombinasi sentimen negatif yang membuat dolar tetap dominan di pasar global, sementara mata uang negara berkembang, termasuk rupiah, berada di posisi tertekan.

Inflasi Domestik Naik, Tekanan terhadap Rupiah Bertambah

Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi terbaru yang menunjukkan peningkatan pada bulan Oktober 2025.

Secara bulanan (month to month/MtM), inflasi tercatat 0,28%, naik dari 0,21% pada September 2025.
Sementara itu, secara tahunan (year on year/YoY), inflasi Indonesia mencapai 2,86% per Oktober, meningkat dari 2,65% pada bulan sebelumnya.

Adapun secara tahun kalender (year to date), tingkat inflasi nasional mencapai 2,10%.

BPS juga merinci kelompok pengeluaran yang memberikan andil terbesar terhadap kenaikan inflasi. Kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya mencatat inflasi tertinggi sebesar 3,05%, dengan kontribusi 0,21% terhadap inflasi nasional. 

Komoditas yang paling dominan mendorong kenaikan di kelompok ini adalah emas perhiasan, yang menyumbang andil inflasi sebesar 0,21%.

Sementara itu, kelompok makanan, minuman, dan tembakau juga berkontribusi terhadap peningkatan harga dengan inflasi 0,28%, serta andil 0,28% terhadap total inflasi.

Beberapa komoditas penyumbang utama dalam kelompok ini antara lain cabai merah yang memberikan andil 0,60%, diikuti telur ayam ras (0,04%) dan daging ayam ras (0,02%).

Kenaikan inflasi ini menjadi salah satu faktor yang menambah tekanan terhadap rupiah. Pasar khawatir inflasi yang meningkat dapat mengurangi ruang kebijakan moneter Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga, terutama ketika tekanan dari sisi eksternal masih tinggi.

Kombinasi Faktor Global dan Domestik Jaga Tekanan pada Rupiah

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa rupiah menghadapi tekanan dari dua arah: eksternal dan internal. Dari luar negeri, penguatan dolar AS akibat kebijakan The Fed dan ketidakpastian politik menjadi faktor utama yang membatasi potensi penguatan rupiah. 

Dari dalam negeri, kenaikan inflasi dan kenaikan harga komoditas pangan serta emas perhiasan ikut memperkuat tekanan terhadap stabilitas nilai tukar.

Meski demikian, sebagian analis menilai pelemahan rupiah masih tergolong terkendali, karena pergerakannya tetap berada dalam kisaran fundamental.

Stabilitas pasar keuangan domestik yang relatif terjaga juga menjadi penopang utama agar rupiah tidak melemah terlalu dalam.

Ke depan, pelaku pasar diperkirakan akan mencermati data ekonomi Amerika Serikat berikutnya, termasuk laporan ketenagakerjaan dan inflasi AS, untuk memperkirakan langkah kebijakan The Fed pada pertemuan Desember mendatang.

Sementara itu, dari sisi domestik, fokus perhatian pasar akan tertuju pada upaya pemerintah menjaga stabilitas harga dan memperkuat cadangan devisa guna mengantisipasi tekanan eksternal lanjutan.

Rupiah Melemah Terbatas, Tapi Risiko Masih Terbuka

Rupiah pada Rabu, 5 November 2025, diperkirakan bergerak melemah di kisaran Rp16.700—Rp16.750 per dolar AS, melanjutkan tren koreksi yang terjadi sehari sebelumnya.

Meskipun indeks dolar AS turun tipis, ketidakpastian arah kebijakan The Fed serta meningkatnya inflasi domestik membuat ruang penguatan rupiah masih terbatas.

Dengan tekanan global yang masih tinggi dan inflasi dalam negeri yang cenderung naik, pasar diperkirakan akan tetap berhati-hati dalam mengambil posisi terhadap aset berdenominasi rupiah.

Namun, prospek jangka menengah masih bergantung pada stabilitas ekonomi domestik serta arah kebijakan fiskal dan moneter yang dijalankan pemerintah dan Bank Indonesia.

Terkini