Perbedaan Data Kemiskinan Indonesia Versi Bank Dunia dan BPS Capai 147 Juta Jiwa, Ini Penjelasan Resmi soal Metode dan Garis Kemiskinan yang Digunakan

Sabtu, 03 Mei 2025 | 14:29:26 WIB
Perbedaan Data Kemiskinan Indonesia Versi Bank Dunia dan BPS Capai 147 Juta Jiwa, Ini Penjelasan Resmi soal Metode dan Garis Kemiskinan yang Digunakan

JAKARTA – Perbedaan mencolok dalam data jumlah penduduk miskin Indonesia versi Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi sorotan publik. Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook 2024 mencatat sebanyak 171,8 juta warga Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, atau sekitar 60,3 persen dari total penduduk. Di sisi lain, BPS melaporkan jumlah penduduk miskin hanya 24,06 juta jiwa atau 8,57 persen per September 2024.

Perbedaan ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa terdapat selisih hingga 147,74 juta jiwa antara kedua lembaga tersebut?

Unit Kerja Kepala Statistik Bidang Media dan Komunikasi (UKK Media) BPS, Eko Rahmadian, menanggapi perbedaan ini dengan menjelaskan bahwa keduanya menggunakan pendekatan dan tujuan yang berbeda dalam mendefinisikan serta mengukur kemiskinan.

“Perbedaan angka ini memang terlihat cukup besar, namun penting untuk dipahami secara bijak bahwa keduanya tidak saling bertentangan,” ujar Eko dalam rilis resminya, Jumat.

Standar Pengukuran yang Berbeda

Bank Dunia menggunakan standar global yang bersifat komparatif antarnegara. Ada tiga pendekatan yang digunakan Bank Dunia:

-US$2,15 PPP per kapita per hari, untuk mengukur kemiskinan ekstrem global.

-US$3,65 PPP per kapita per hari, untuk negara berpendapatan menengah bawah (Lower Middle Income Country atau LMIC).

-US$6,85 PPP per kapita per hari, untuk negara berpendapatan menengah atas (Upper Middle Income Country atau UMIC), kategori yang saat ini ditempati Indonesia.

PPP atau Purchasing Power Parity adalah metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dolar yang digunakan bukan kurs tukar konvensional, melainkan nilai yang disesuaikan dengan harga barang dan jasa setempat. Pada 2024, nilai US$1 PPP setara dengan Rp5.993,03.

“Nilai US$6,85 yang digunakan Bank Dunia adalah angka median dari garis kemiskinan 37 negara UMIC, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia,” jelas Eko.

Pendekatan BPS: Berdasarkan Kebutuhan Dasar

Sementara itu, BPS menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN), yakni menghitung pengeluaran minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan nonmakanan. Garis Kemiskinan ini didasarkan pada data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan dua kali setahun.

Untuk makanan, standar konsumsi ditetapkan minimal 2.100 kilokalori per orang per hari. Komoditas yang digunakan mencerminkan pola konsumsi rumah tangga Indonesia, seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayuran. Kebutuhan nonmakanan mencakup biaya minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

“BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar. Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan,” tegas Eko.

Per September 2024, garis kemiskinan nasional BPS ditetapkan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan. Namun, nilai ini berbeda di tiap daerah. Misalnya, di DKI Jakarta, garis kemiskinan per kapita mencapai Rp846.085 per bulan. Untuk rumah tangga dengan lima anggota, garis kemiskinan rumah tangga ditetapkan sebesar Rp4.230.425 per bulan.

“Karena konsumsi terjadi dalam satu rumah tangga, pendekatan yang lebih tepat adalah melihat garis kemiskinan rumah tangga, bukan per individu,” jelasnya.

Miskin Bukan Berarti Tidak Sejahtera

Eko menekankan bahwa berada di atas garis kemiskinan tidak serta-merta berarti seseorang hidup sejahtera. Terdapat kelompok rentan miskin dan kelas menengah yang berisiko turun kelas jika terjadi guncangan ekonomi.

Per September 2024, BPS mencatat struktur penduduk Indonesia berdasarkan tingkat kesejahteraan sebagai berikut:

-Miskin: 8,57% (24,06 juta jiwa)

-Rentan miskin: 24,42% (68,51 juta jiwa)

-Menuju kelas menengah: 49,29% (138,31 juta jiwa)

-Kelas menengah: 17,25% (48,41 juta jiwa)

-Kelas atas: 0,46% (1,29 juta jiwa)

“Dengan memahami konsep garis kemiskinan yang benar, maka kemiskinan tidak dapat diterjemahkan sebagai pendapatan per orang, bahkan tidak bisa diartikan sebagai gaji Rp20 ribu per hari berarti orang itu miskin,” tutup Eko.

Terkini