JAKARTA – Sebuah jembatan penyeberangan milik warga bernama Haji Endang di Desa Anggadita, Kecamatan Klari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang selama 15 tahun menjadi akses penting antar desa dan menghasilkan omzet hingga Rp 20 juta per hari, kini terancam dibongkar. Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum telah memasang spanduk peringatan resmi yang menyatakan bahwa jembatan tersebut tidak memiliki izin resmi untuk melintasi sungai.
Peringatan tersebut terpampang di lokasi jembatan sejak Minggu, 28 April 2025. Dalam spanduk itu disebutkan bahwa keberadaan jembatan apung itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Spanduk mencolok tersebut bertuliskan bahwa jembatan dibangun tanpa izin resmi dan melanggar ketentuan pengelolaan sumber daya air.
"Berdasarkan UU Nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, jembatan ini tidak memiliki izin melintasi sungai," demikian isi peringatan resmi dari BBWS Citarum.
Jembatan Vital, Tapi Tidak Berizin
Jembatan milik Haji Endang bukan sekadar alat usaha, tapi juga fasilitas vital bagi warga setempat. Jembatan ini menghubungkan dua kecamatan, yakni Kecamatan Klari melalui Desa Anggadita dan Kecamatan Ciampel melalui Desa Parungmulya. Setiap hari, ratusan pengguna, baik pejalan kaki maupun pengendara roda dua, melintasi jembatan apung ini untuk beraktivitas, bekerja, hingga mengakses pendidikan dan layanan publik.
Selama lebih dari satu dekade, jembatan ini juga menjadi ladang usaha bagi Haji Endang. Berdasarkan informasi yang beredar di lapangan, jembatan tersebut mampu menghasilkan pemasukan sekitar Rp 20 juta per hari dari pungutan biaya penyeberangan. Namun, status legalitasnya kini dipersoalkan karena tidak dilengkapi izin resmi dari pemerintah pusat maupun daerah.
Pemerintah Pusat Tegas: Keamanan dan Legalitas Prioritas
BBWS Citarum, yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menyampaikan bahwa tindakan pemasangan spanduk merupakan bagian dari penertiban infrastruktur ilegal di wilayah aliran Sungai Citarum. Selain faktor legalitas, aspek keselamatan dan potensi kerusakan lingkungan juga menjadi alasan kuat di balik rencana pembongkaran.
Meski belum ada tindakan pembongkaran langsung, keberadaan spanduk tersebut menandai ancaman serius terhadap kelangsungan operasional jembatan tersebut. Pihak BBWS mengingatkan bahwa setiap bangunan yang melintasi sungai harus melalui proses perizinan yang ketat, termasuk analisis dampak lingkungan dan kajian teknis konstruksi.
Masyarakat dan Pelaku Usaha Harap Solusi Bijak
Kondisi ini memicu reaksi beragam dari masyarakat sekitar. Banyak warga berharap agar ada jalan tengah antara pemilik jembatan dan pemerintah, mengingat peran jembatan tersebut sangat krusial dalam mobilitas sehari-hari. Terlebih lagi, tak sedikit pelaku usaha kecil dan pekerja harian yang menggantungkan akses mereka pada jembatan ini.
“Kami berharap pemerintah tidak hanya memikirkan aspek hukum, tapi juga mempertimbangkan dampak sosial ekonomi bagi warga,” ujar seorang warga Parungmulya yang setiap hari menggunakan jembatan untuk pergi bekerja di kawasan industri Ciampel.
Pengusaha Terancam, Regulasi Harus Ditaati
Di sisi lain, Haji Endang selaku pemilik jembatan dikabarkan belum memberikan pernyataan resmi terkait peringatan tersebut. Namun, berdasarkan catatan lapangan, ia selama ini telah melakukan perawatan rutin dan menjaga keamanan jembatan secara mandiri. Meski begitu, tanpa izin resmi, jembatan tersebut tetap dianggap ilegal menurut regulasi pemerintah.
Pakar tata ruang dan sumber daya air dari Universitas Padjadjaran menilai bahwa kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan sejak awal, namun bukan berarti pelanggaran harus dibiarkan.
“Jika memang jembatan itu telah beroperasi selama 15 tahun tanpa izin, ini menunjukkan ada kelalaian pengawasan, tapi tetap harus dikaji ulang secara hukum dan teknis,” kata Dr. Arif Rahman, dosen teknik sipil Unpad.
Pemerintah Daerah Diminta Turut Mediasi
Sejumlah pihak kini mendesak agar Pemerintah Kabupaten Karawang turun tangan melakukan mediasi antara BBWS Citarum dan Haji Endang. Solusi legalisasi melalui perizinan khusus atau penyediaan alternatif infrastruktur menjadi usulan yang mulai mengemuka, guna mencegah dampak sosial yang lebih besar.
Penutupan jembatan ini tak hanya mengancam pemasukan pribadi Haji Endang, tetapi juga potensi kemacetan dan terganggunya mobilitas antar desa dan kecamatan. Dalam jangka panjang, pemerintah juga perlu merumuskan kebijakan pembangunan infrastruktur rakyat berbasis partisipasi dan kepastian hukum.