JAKARTA – Warga Kampung Malahing, sebuah pemukiman terapung di tengah laut yang terletak di RT 30, Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kota Bontang, Kalimantan Timur, mendesak pemerintah untuk segera melakukan pemerataan distribusi gas elpiji bersubsidi 3 kilogram. Warga mengeluhkan kelangkaan dan tingginya harga gas yang jauh melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Harga gas subsidi yang seharusnya dijual seharga Rp21.000 per tabung, justru dijual hingga Rp35.000 di wilayah mereka. Kondisi ini dinilai sangat memberatkan warga yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan dengan penghasilan rendah dan tidak tetap.
Ketua RT 30 Kampung Malahing, Nasir, menyampaikan keluhan tersebut secara langsung kepada media. Menurutnya, tingginya harga gas disebabkan oleh tidak adanya pangkalan resmi di wilayah mereka, sehingga distribusi gas sepenuhnya bergantung pada pihak ketiga yang mengambil pasokan dari darat.
“Stok yang didapat penduduk disuplai oleh salah satu warga saja, lantaran harga di darat didapat dengan kisaran harga Rp35.000. Ini sangat memberatkan warga kami,” kata Nasir.
Ia menambahkan, mayoritas warga Kampung Malahing memiliki penghasilan antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta per bulan. Dengan penghasilan yang terbatas, harga gas yang jauh dari HET menjadi beban ekonomi tambahan bagi masyarakat.
Akibat keterbatasan pasokan dan mahalnya harga, sebagian warga memilih kembali menggunakan kayu bakar sebagai sumber energi untuk memasak. Meskipun dinilai lebih hemat, penggunaan kayu bakar justru membawa risiko baru, terutama potensi terjadinya kebakaran di kawasan yang mayoritas rumahnya terbuat dari kayu.
Nasir menyoroti kejadian kebakaran yang sempat terjadi di Kampung Malahing pada Februari 2025 lalu, yang diduga dipicu oleh penggunaan kayu bakar. “Kami terpaksa pakai kayu bakar, karena saat ini juga stok LPG langka. Karena gas sulit dan banyak diborong, penduduk terpaksa harus pakai kayu bakar untuk memasak,” ungkapnya.
Situasi ini dinilai sangat mengkhawatirkan karena selain berdampak pada ekonomi rumah tangga, juga mengancam keselamatan warga. Ia menyebut, kondisi tersebut bisa terus berulang jika tidak ada solusi konkret dari pemerintah, terutama terkait distribusi dan akses terhadap gas bersubsidi.
Menurut Nasir, permasalahan utama di wilayahnya adalah tidak adanya pangkalan resmi gas elpiji. Hal ini disebabkan oleh tingginya modal awal yang harus dikeluarkan untuk mendirikan pangkalan, yang tidak sanggup dipenuhi oleh warga setempat. Akibatnya, pengecer yang ada saat ini mengikuti harga dari daratan yang sudah terlebih dahulu tinggi.
“Karena di sini kami tidak bisa jadi pangkalan gas, modal cukup besar. Pengecer pun ngikut harga di darat. Kami berharap ada prioritas buat warga kami,” ujarnya berharap.
Warga berharap pemerintah daerah dan Pertamina dapat memberikan perhatian khusus terhadap wilayah pesisir dan perkampungan terpencil seperti Kampung Malahing. Mereka juga meminta agar distribusi gas subsidi bisa dikelola langsung oleh pemerintah, agar harga dapat ditekan dan terjangkau oleh masyarakat kecil.
Langkah konkret seperti penunjukan pangkalan resmi, bantuan modal usaha untuk pengecer, atau skema distribusi khusus bagi daerah terpencil dinilai sebagai solusi realistis untuk menjamin pemerataan energi, khususnya gas bersubsidi.
Dengan pemerataan distribusi dan harga yang sesuai HET, warga meyakini bahwa kesejahteraan dan keselamatan mereka bisa meningkat. Pemerintah diharapkan segera turun tangan agar Kampung Malahing tidak terus tertinggal dalam akses terhadap kebutuhan dasar rumah tangga seperti energi memasak.