Kenaikan Tarif Royalti Nikel Picu Kekhawatiran Pengusaha: Daya Saing Melemah, Potensi PHK Massal

Kamis, 17 April 2025 | 08:28:47 WIB
Kenaikan Tarif Royalti Nikel Picu Kekhawatiran Pengusaha: Daya Saing Melemah, Potensi PHK Massal

JAKARTA – Kalangan pelaku industri nikel tengah menghadapi tekanan baru seiring dengan pemberlakuan tarif royalti minerba (mineral dan batu bara) yang lebih tinggi. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2025 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 11 April 2025.

Beleid baru ini menggantikan PP No. 26 Tahun 2022 dan akan berlaku efektif mulai 26 April 2025. Kenaikan tarif royalti tersebut memicu kekhawatiran luas di kalangan pengusaha, terutama karena kondisi ekonomi global yang masih belum stabil dan harga nikel dunia yang cenderung menurun.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin, menilai bahwa kenaikan ini akan berdampak serius terhadap seluruh mata rantai industri nikel, mulai dari penambang hingga pengolah. Menurutnya, margin keuntungan yang sudah tipis akan semakin tergerus dengan beban royalti yang meningkat.

“Kenaikan tarif royalti akan menekan margin produksi penambang dan smelter secara signifikan, berpotensi mengurangi penerimaan negara dari royalti produk smelter yang tidak dapat terjual karena kurang kompetitifnya harga produk di pasar,” ujar Meidy dalam keterangannya.

Dari sisi angka, tarif royalti bijih nikel naik dari sebelumnya 10% menjadi 14% hingga 19%. Untuk produk feronikel, naik dari 2% menjadi 4%-6%, sedangkan nickel pig iron (NPI) naik dari 5% menjadi 5%-7%. Di saat bersamaan, para pelaku usaha juga dihadapkan pada tantangan lain seperti kenaikan harga biosolar B40, peningkatan upah minimum, penerapan PPN 12%, serta kewajiban menyimpan 100% devisa hasil ekspor (DHE) selama 12 bulan.

“Kenaikan royalti berpotensi mengurangi minat investasi di sektor hulu-hilir nikel, menurunkan daya saing produk nikel Indonesia di pasar global, dan memicu PHK massal akibat tekanan margin, terutama di sektor hilir yang menyerap ratusan ribu tenaga kerja,” imbuh Meidy.

Tak hanya itu, kebijakan ini dikhawatirkan akan mendorong para penambang menaikkan cut off grade dalam kegiatan penambangan, yang berujung pada berkurangnya cadangan yang dapat ditambang dan berkurangnya umur tambang (life of mine).

“Dengan cadangan yang menyusut, tingkat produksi dan life of mine akan berkurang sehingga secara jangka panjang penerimaan negara justru akan berkurang,” tegas Meidy.

Meski begitu, Meidy menyatakan bahwa APNI tetap membuka diri untuk berdialog dan berharap pemerintah mempertimbangkan kembali implementasi aturan tersebut, termasuk kemungkinan penundaan atau penerapan secara bertahap guna mengurangi dampak negatif.

Senada dengan Meidy, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, juga menyuarakan keprihatinan atas dampak kebijakan ini. Ia memperkirakan, sebanyak 700 hingga 800 perusahaan mineral akan terdampak dan kemungkinan akan mengambil langkah efisiensi untuk bertahan.

“Untuk menyiasati dampak kenaikan tarif royalti atau biaya-biaya, setiap orang atau perusahaan tentu akan melakukan efisiensi,” ujar Hendra.

Menanggapi kekhawatiran tersebut, pemerintah menyatakan akan tetap membuka ruang dialog. Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyampaikan bahwa saat ini pemerintah tengah melakukan sosialisasi dan penyesuaian sistem sebelum penerapan resmi pada 26 April 2025.

“Untuk masa transisi 15 hari ini kita menyesuaikan sistem, kita sosialisasi. Jadi ya menunggu dan sekitar tanggal 26 itu sudah bisa kita implementasikan,” ungkap Yuliot saat ditemui di Jambi.

Sementara itu, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, mengonfirmasi bahwa pihaknya akan menggelar pertemuan dengan pelaku usaha nikel pada Kamis, 17 April 2025, guna mencari solusi bersama atas kekhawatiran yang mencuat.

“Yang jelas kami ada diskusi besok hari Kamis. Minggu ini mau diskusi gimana caranya supaya margin mereka tetap bagus, tapi royalti naik,” kata Tri di Kantor Kementerian ESDM.

Tri menambahkan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor minerba, yang tahun ini ditargetkan mencapai Rp124,5 triliun, naik dari target tahun 2024 sebesar Rp113,54 triliun.

“Tahun ini target Rp124,5 triliun,” sebut Tri. Ia juga menegaskan bahwa kajian telah dilakukan sebelum keputusan ini ditetapkan, dan kenaikan tarif diyakini tidak akan terlalu membebani pengusaha.

Meski pemerintah meyakinkan bahwa kebijakan ini sudah melalui kajian mendalam, tekanan dari pelaku industri menunjukkan bahwa masih dibutuhkan komunikasi dan evaluasi lebih lanjut agar kebijakan fiskal ini tidak mengganggu kesinambungan sektor nikel yang strategis.

Terkini

ASUS Vivobook Pro 16X OLED N7601, Laptop Kreator Andal 2024

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:30 WIB

Huawei MatePad 11, Tablet Murah dengan Layar Keren

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:26 WIB

Huawei Rilis Pura 80 Series, Andalkan Kamera Canggih

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:18 WIB

Review Acer Nitro 16, Laptop Gaming 16 Inci Bertenaga

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:13 WIB