JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Solo mencatat penurunan signifikan dalam penyaluran kredit perbankan di wilayah Solo Raya pada awal tahun 2025. Total pembiayaan yang disalurkan bank di kawasan ini menyusut sebesar Rp 2,8 triliun atau 2,64 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), menjadi Rp 103,585 triliun per Januari 2025.
Kondisi ini disertai dengan masih tingginya angka kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL), yang tercatat mencapai 9,179 persen. Angka ini menjadi perhatian serius, karena menunjukkan risiko kredit yang belum sepenuhnya terkendali, terutama di sektor-sektor dominan.
Kepala OJK Solo, Eko Hariyanto, dalam keterangan persnya menjelaskan bahwa sektor ekonomi yang paling banyak menerima penyaluran kredit adalah perdagangan besar dan eceran, senilai Rp 27,05 triliun, disusul oleh sektor industri pengolahan sebesar Rp 25,27 triliun.
“Penyaluran kredit perbankan di Solo Raya masih terkonsentrasi pada sektor perdagangan dan industri pengolahan. Namun, tingginya NPL menjadi tantangan yang harus diantisipasi bersama agar stabilitas sektor keuangan tetap terjaga,” ujar Eko Hariyanto.
Dari sisi penggunaan, jenis kredit yang paling besar adalah kredit modal kerja sebesar Rp 57,86 triliun. Sementara berdasarkan klasifikasi usaha, kredit yang disalurkan lebih banyak kepada kategori bukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (non-UMKM), yakni mencapai Rp 56 triliun.
Meski penyaluran kredit menurun, dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan dari masyarakat justru mengalami peningkatan sebesar 3,10 persen (yoy), menjadi Rp 97,79 triliun. Hal ini menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan masih cukup tinggi, ditopang oleh iklim likuiditas yang terjaga.
“Aset perbankan juga tumbuh positif, dari Rp 116,86 triliun menjadi Rp 119,53 triliun, naik sebesar 2,29 persen. Likuiditas perbankan pun tetap stabil, tercermin dari Loan to Deposit Ratio (LDR) yang berada di angka 105,92 persen,” jelas Eko Hariyanto.
Transaksi Pasar Modal Ikut Melambat
Tidak hanya sektor perbankan, transaksi pasar modal di Solo Raya juga mengalami tekanan pada awal tahun ini. Volume transaksi pada Januari 2025 tercatat sebesar Rp 2,28 triliun, turun drastis 39,20 persen dibanding Desember 2024 yang mencapai Rp 3,76 triliun.
Meski demikian, secara tahunan (yoy), terdapat pertumbuhan positif sebesar 3,48 persen atau Rp 76,85 miliar. Pada Januari 2024, transaksi pasar modal berada di angka Rp 2,21 triliun, naik menjadi Rp 2,28 triliun di bulan yang sama tahun 2025.
Menurut Eko, transaksi pasar modal terbesar masih berasal dari Kota Surakarta (Solo), dengan nilai transaksi Rp 936,40 miliar. Posisi kedua ditempati Kabupaten Klaten sebesar Rp 417,45 miliar, diikuti oleh Kabupaten Sukoharjo sebesar Rp 416,58 miliar.
“Penurunan transaksi pasar modal secara month to month (mtm) memang cukup signifikan, namun dari sisi pertumbuhan investor kita masih mencatat tren positif,” ujar Eko.
Investor Pasar Modal Bertambah
Meskipun transaksi turun, jumlah investor pasar modal (Single Investor Identification/SID) justru meningkat baik secara bulanan maupun tahunan. Pada Januari 2025, total SID tercatat sebanyak 507.102 investor, naik 1,33 persen atau sebanyak 6.638 investor dibanding Desember 2024.
Secara tahunan, pertumbuhan SID di Solo Raya mencapai 18,64 persen atau bertambah 79.686 investor dari 427.416 SID pada Januari 2024. Kategori investor ini meliputi investor saham, reksadana, Surat Berharga Negara (SBN), dan E-BAE.
Implikasi Terhadap Ekonomi Daerah
Penurunan penyaluran kredit dan perlambatan transaksi pasar modal ini menjadi tantangan tersendiri bagi perekonomian Solo Raya. Sektor riil, terutama perdagangan dan industri pengolahan, masih menjadi tumpuan utama pembiayaan, namun tingginya NPL menunjukkan perlunya perbaikan dalam manajemen risiko kredit.
OJK Solo menyatakan akan terus memperkuat koordinasi dengan lembaga keuangan dan pemerintah daerah untuk mendorong inklusi keuangan dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
“Perlu sinergi lintas sektor untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Solo Raya agar tetap inklusif dan berkelanjutan,” tutup Eko Hariyanto.
Dengan dinamika ini, pelaku usaha di Solo Raya diharapkan bisa memanfaatkan fasilitas kredit secara lebih bijak dan bertanggung jawab, sembari memanfaatkan pertumbuhan investor pasar modal yang kian meningkat sebagai alternatif pembiayaan usaha di tengah kondisi ekonomi yang menantang.