Forum Industri Nikel Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Royalti: "Perlu Kebijakan Adaptif di Tengah Harga Anjlok"

Sabtu, 12 April 2025 | 09:05:22 WIB
Forum Industri Nikel Desak Pemerintah Tunda Kenaikan Royalti: "Perlu Kebijakan Adaptif di Tengah Harga Anjlok"

Jakarta – Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyerukan kepada pemerintah agar meninjau kembali rencana kenaikan tarif royalti atas komoditas nikel yang akan diberlakukan mulai April 2025. Desakan ini disampaikan menyusul kondisi pasar nikel global yang tengah mengalami penurunan tajam serta tekanan biaya produksi yang makin berat dirasakan pelaku industri nasional.

Kebijakan kenaikan tarif royalti diumumkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam keterangan pers pada 9 April 2025. Namun, rencana tersebut menuai respons kritis dari pelaku industri, termasuk FINI, karena dinilai tidak sejalan dengan realitas ekonomi global saat ini.

Ketua Umum FINI, Alexander Barus, menegaskan bahwa kebijakan fiskal, termasuk tarif royalti, seharusnya dirumuskan secara adaptif dan berpihak pada keberlangsungan industri strategis nasional.

"Penyesuaian kebijakan fiskal, seperti kenaikan royalti, harus mempertimbangkan kondisi pasar saat ini yang sedang mengalami penurunan harga agar tidak membebani pelaku industri di tengah upaya menjaga keberlangsungan hilirisasi nikel nasional," ujar Alexander Barus.

Harga Nikel Global Terjun Bebas

FINI mencatat bahwa harga nikel global saat ini telah terjun bebas hingga 16% hanya dalam satu bulan terakhir, dan merosot 23% dalam enam bulan terakhir. Saat ini, harga nikel berada di kisaran US$13.800 per ton, titik terendah sejak 2020.

Penurunan harga ini dipicu oleh sejumlah faktor eksternal, termasuk melambatnya pertumbuhan ekonomi global, serta ketegangan geopolitik yang semakin meningkat akibat perang dagang antara Amerika Serikat dan China. Kondisi ini secara langsung berdampak terhadap penurunan permintaan nikel dunia, yang pada akhirnya memukul sektor pertambangan dan hilirisasi di Indonesia.

Tekanan Tambahan dari Kebijakan Domestik

Selain tekanan eksternal, industri nikel juga dibebani berbagai kebijakan domestik yang meningkatkan biaya produksi. Beberapa di antaranya termasuk:

-Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR)

-Kewajiban penggunaan B40

-Kebijakan retensi Devisa Hasil Ekspor (DHE)

-Penerapan Global Minimum Tax mulai 2025

Kombinasi dari seluruh faktor tersebut membuat pelaku industri semakin sulit mempertahankan kelangsungan operasionalnya, terlebih lagi bagi pabrik-pabrik pemurnian (smelter) yang membutuhkan investasi dan biaya energi yang sangat besar.

Sejalan dengan Visi Presiden Prabowo

FINI menekankan bahwa sikap mereka bukan bentuk penolakan terhadap kontribusi fiskal industri terhadap negara, namun lebih pada perlunya penyesuaian waktu dan strategi implementasi. Forum ini juga mendukung visi Presiden Prabowo Subianto yang dalam Sarasehan Ekonomi 2025 menekankan pentingnya kemandirian ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.

Dalam acara tersebut, Presiden Prabowo menyampaikan bahwa pembangunan nasional akan berfokus pada empat pilar utama: swasembada pangan, energi, air, dan industrialisasi. Hal ini menjadi dasar mengapa keberlanjutan industri strategis seperti nikel harus dijaga dengan kebijakan yang adaptif.

“Kami berkomitmen mendukung visi Presiden Prabowo dalam memperkuat industrialisasi dan kemandirian ekonomi nasional, dan mengajak pemerintah untuk mengedepankan kebijakan yang adaptif dan berpihak pada keberlanjutan industri strategis Indonesia,” tegas Alexander Barus.

Ajakan untuk Dialog dan Evaluasi

FINI juga menyampaikan kesiapan mereka untuk berdialog dengan pemerintah guna mencari solusi bersama yang saling menguntungkan. Mereka berharap pemerintah dapat membuka ruang evaluasi terhadap kebijakan fiskal yang berpotensi menghambat pertumbuhan industri hilirisasi nasional.

“Kami percaya bahwa pendekatan kolaboratif antara pelaku industri dan pemerintah sangat diperlukan saat ini agar Indonesia tidak kehilangan momentum dalam mendorong nilai tambah dari komoditas strategis,” tambah Alexander.

Harapan untuk Kebijakan yang Seimbang

Dengan kondisi harga nikel global yang belum menunjukkan tanda pemulihan, pelaku industri berharap agar keputusan strategis pemerintah tidak diambil secara tergesa-gesa. Kebijakan yang seimbang, berdasarkan data dan analisis pasar yang objektif, dinilai akan mampu menjaga iklim investasi serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dalam jangka panjang.

Sebagai salah satu pilar utama hilirisasi mineral di Indonesia, industri nikel membutuhkan dukungan regulasi yang proaktif, prediktif, dan adaptif. Jika tidak, target besar pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain kunci dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global dapat terganggu oleh ketidakseimbangan kebijakan fiskal dan tekanan ekonomi global.

Dengan berbagai tantangan yang ada, pelaku industri berharap agar pemerintah benar-benar mempertimbangkan aspirasi dan realitas di lapangan sebelum menerapkan kebijakan baru yang berdampak langsung terhadap produktivitas dan investasi di sektor nikel nasional.

Terkini

ASUS Vivobook Pro 16X OLED N7601, Laptop Kreator Andal 2024

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:30 WIB

Huawei MatePad 11, Tablet Murah dengan Layar Keren

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:26 WIB

Huawei Rilis Pura 80 Series, Andalkan Kamera Canggih

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:18 WIB

Review Acer Nitro 16, Laptop Gaming 16 Inci Bertenaga

Rabu, 10 September 2025 | 15:45:13 WIB