Apa itu toxic parents? Mereka adalah orang tua yang berperilaku negatif dan merugikan dalam mengasuh anaknya.
Pada dasarnya, setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Namun, meskipun niatnya demi kebaikan, keinginan yang berlebihan seringkali justru melukai perasaan anak.
Perlindungan yang terlalu ketat, tuntutan yang tidak realistis, serta sikap egois kerap menjadi ciri dari perilaku toxic yang dilakukan orang tua.
Karena itu, penting bagi para orang tua untuk memahami apa yang dimaksud dengan toxic parents agar bisa menghindari perilaku tersebut di kemudian hari.
Sikap toxic sendiri adalah kebiasaan yang sering muncul dalam interaksi seseorang, yang tanpa disadari dapat menyakiti orang lain maupun dirinya sendiri.
Walaupun dilandasi niat baik demi anak, sifat-sifat negatif ini dalam beberapa situasi pengasuhan justru berdampak buruk, baik secara psikologis maupun fisik terhadap anak—itulah gambaran nyata dari apa itu toxic parents.
Apa Itu Toxic Parents?
Apa itu toxic parents? Istilah ini menggambarkan orang tua yang menunjukkan perilaku beracun dalam cara mereka membesarkan anak.
Orang tua yang termasuk toxic ini menerapkan pola asuh yang buruk, sehingga memberikan dampak negatif baik pada kesehatan mental maupun fisik anak.
Sebagai orang tua yang ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, sikap semacam ini sebaiknya dihindari.
Karena perilaku beracun hanya akan menjadi masalah yang akhirnya merugikan diri sendiri dan orang di sekitar. Lalu, bagaimana tanda-tanda perilaku yang sering muncul dari toxic parents?
Ciri-ciri Toxic Parents
Kamu pasti tidak ingin menjadi orang tua yang berperilaku merugikan ketika sudah berkeluarga dan memiliki anak nanti.
Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda perilaku beracun agar bisa mendeteksi jika ada orang tua di sekitar yang cenderung melakukan hal tersebut.
Dengan begitu, kamu dapat membantu mereka keluar dari pola asuh yang negatif. Berikut adalah beberapa ciri khas dari orang tua dengan perilaku beracun dalam membesarkan anak:
Mengontrol Anak Secara Berlebihan
Seringkali orang tua lupa bahwa anak juga berhak membuat keputusan sendiri dan masih menganggap mereka belum cukup dewasa untuk memahami hal-hal tertentu.
Karena itu, mereka cenderung membatasi serta mengatur segala aktivitas anak tanpa memberi kebebasan berpendapat maupun pilihan. Bahkan saat anak sudah remaja atau dewasa, orang tua yang bersikap demikian tetap ingin mengatur hidup anaknya.
Kekhawatiran yang berlebihan membuat anak merasa terkekang dan bisa menimbulkan stres. Ketidakpercayaan orang tua terhadap kemampuan anak untuk memilih jalan terbaik bisa menimbulkan rasa kecewa dan kebencian.
Perilaku ini bahkan dapat berlanjut sampai anak dewasa dan berkeluarga, menjadikan orang tua tersebut juga toxic sebagai mertua bagi keluarga anaknya.
Membentak Anak
Apakah membentak anak efektif untuk menunjukkan ketegasan? Jawabannya tidak selalu tepat. Pada masa lalu, membentak atau memarahi anak sering dianggap cara mendidik yang tegas.
Meski ada yang berhasil, banyak juga yang meninggalkan luka batin. Zaman sekarang, pendekatan seperti itu tidak lagi cocok untuk pengasuhan anak. Ketegasan bisa diterapkan tanpa harus berteriak.
Contohnya, anak yang terlambat datang ketika dipanggil atau menumpahkan minuman secara tidak sengaja memang wajar terjadi pada anak kecil. Namun, bukannya memarahinya, orang tua seharusnya memahami dan mengajarkan dengan sabar.
Jika terjadi kesalahan yang serius, orang tua bisa mengingatkan dengan cara yang baik, menjelaskan alasan kenapa hal itu tidak boleh dilakukan. Mendidik anak memang membutuhkan kesabaran tinggi, terutama bila anak sulit diatur.
Tapi, ada banyak cara untuk membuat anak patuh tanpa harus membentak, seperti yang dijelaskan dalam buku karya konsultan parenting Ayah Edy.
Melancarkan Kekerasan Verbal
Mengasuh anak memang penuh tantangan, sehingga orang tua terkadang sulit mengendalikan emosi saat menghadapi tingkah laku anak. Namun, sangat penting untuk berhati-hati agar kemarahan tidak berubah menjadi perilaku beracun.
Orang tua yang memiliki sifat toxic cenderung cepat kehilangan kesabaran dan melampiaskan amarahnya lewat kekerasan verbal. Tak jarang kata-kata kasar terlontar saat emosi memuncak.
Dampak dari perilaku ini sangat buruk bagi kesehatan mental dan fisik anak. Anak menjadi bingung tentang kesalahan yang diperbuat dan merasa takut terhadap orang tua karena khawatir mendapat hukuman fisik.
Sikap seperti ini malah berpotensi membuat anak mengalami depresi dan tumbuh dengan rasa benci kepada orang tuanya. Padahal, orang tua seharusnya menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi anak, bukan sosok yang menakutkan.
Menyalahkan dan Mengkritik Anak secara Berlebihan
Baik anak-anak maupun orang dewasa, semua pernah melakukan kesalahan besar. Sayangnya, toxic parents sering kali tidak menyadari hal ini.
Mereka selalu menganggap bahwa setiap masalah adalah kesalahan anak dan sering melabeli anak dengan sebutan negatif.
Padahal, anak adalah cerminan dari orang tua dan lingkungan sekitarnya. Sebagai orang tua yang baik, seharusnya tidak menyalahkan atau mengkritik anak secara berlebihan saat mereka melakukan kesalahan atau mengalami kesulitan.
Sebaliknya, berikanlah masukan yang membangun agar anak lebih mudah menerimanya.
Tujuan mengkritik untuk membuat anak introspeksi bukanlah cara yang tepat. Setiap anak berbeda kemampuan, cara berpikir, dan kecerdasannya. Oleh sebab itu, alih-alih mengkritik, orang tua sebaiknya memberikan dukungan agar anak bisa berkembang.
Kritikan yang tidak membangun justru akan membingungkan anak. Mereka akan merasa tidak dimengerti dan tidak dihargai usaha dan perjuangannya. Tentunya kita ingin anak tumbuh dengan rasa percaya diri dan bahagia, bukan sebaliknya.
Sikap Egois
Banyak alasan yang sering digunakan oleh orang tua berperilaku toxic untuk menekan, membatasi, mengkritik, dan memerintah anak, dengan dalih demi kebaikan mereka.
Padahal, sebenarnya alasan tersebut lebih untuk memenuhi kepentingan dan ego pribadi orang tua itu sendiri.
Contohnya, orang tua memaksa anak belajar keras dan masuk sekolah favorit agar masa depan anak cerah. Namun sebenarnya, itu adalah cara orang tua memuaskan ego mereka agar bisa dipuji di lingkungan sosial.
Mereka sering mengabaikan usaha dan pengorbanan anak yang harus belajar tanpa henti, hingga tidak punya waktu bersosialisasi dengan teman sebayanya. Padahal, interaksi sosial juga penting untuk tumbuh kembang anak secara fisik dan emosional.
Orang tua toxic juga kerap lebih memikirkan kebutuhan dan kesenangan diri sendiri dibanding anaknya. Misalnya, menunda membeli keperluan anak sementara sang ayah rela mengeluarkan uang untuk hobinya seperti bersepeda.
Demi memuaskan keinginan mereka, anak dipaksa melakukan banyak hal di luar kehendak sendiri, tanpa memperhatikan kebahagiaan anak.
Mereka juga kerap mengingatkan anak tentang pengorbanan dan biaya yang telah mereka keluarkan untuk membesarkan anak tersebut.
Padahal, anak sebenarnya sudah paham dan akan membalas budi tanpa harus diingatkan. Sikap seperti ini justru menunjukkan ketidakikhlasan orang tua dalam mendidik anak.
Mengabaikan Privasi Anak
“Kamu masih kecil, kenapa harus punya rahasia? Mau berbohong, ya?” Pernah mendengar kalimat seperti itu? Orang tua seringkali melihat anak sebagai sosok yang belum tahu apa-apa.
Namun, apakah mereka berhak mengetahui segala hal tentang anak? Jawabannya tentu tidak.
Setiap anak berhak memiliki ruang privasi, sekecil apapun usianya. Namun, orang tua dengan pola asuh toxic sering kali tidak memberikan ruang tersebut.
Mereka kerap mengganggu saat anak mulai menyembunyikan sesuatu atau tidak menceritakan semuanya. Bahkan saat anak menolak berbagi cerita, orang tua langsung curiga.
Saat anak mulai remaja, mereka akan menghadapi masalah sendiri dan butuh ruang untuk berpikir serta menyelesaikannya tanpa campur tangan.
Sayangnya, orang tua toxic yang beralasan demi kebaikan selalu ingin tahu segala sesuatu tanpa menghormati privasi anak. Sikap ini justru membuat anak semakin tertutup dan enggan berbagi dengan orang tua.
Dampak Perilaku Toxic Parents pada Anak
Meskipun bertujuan demi kebaikan anak, perilaku toxic parents justru lebih sering menimbulkan dampak buruk daripada manfaat bagi kehidupan anak.
Anak yang tumbuh dalam pola asuh seperti ini rentan mengalami gangguan kesehatan mental, seperti stres dan depresi, karena lingkungan rumah yang tidak kondusif.
Sering kali, anak-anak tersebut kehilangan rasa percaya diri, menjadi pemalu, dan lebih tertutup. Jika kondisi ini terus berlangsung, dampaknya akan semakin serius dan mengganggu hubungan sosial anak dengan lingkungannya.
Tidak jarang pola asuh toxic menimbulkan perasaan benci anak terhadap orang tua dan sekitarnya. Bahkan, dalam kasus paling buruk, anak bisa meniru perilaku tersebut sebagai cara untuk melampiaskan emosi.
Baik dalam interaksi saat ini maupun di masa depan, seperti ketika anak tersebut membentuk keluarga sendiri, pola asuh negatif ini dapat menjadi warisan yang terus berulang dan menjadi bagian dari budaya keluarga yang tidak sehat.
Hal ini karena kesalahan dalam pengasuhan dapat memicu munculnya perilaku negatif pada anak yang mungkin ia tunjukkan saat tidak berada di bawah pengawasan orang tua.
Cara Menghindari Perilaku Toxic Parenting
Kamu pasti tidak ingin menjadi salah satu toxic parents bagi anak-anakmu kelak, karena dampak buruknya sangat besar dan membuat kita harus lebih waspada terhadap hal ini.
Ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah antara anak dan orang tua tanpa harus menjadi toxic parents. Kamu bisa menerapkan pola asuh yang positif agar perkembangan anak berjalan sesuai harapan.
Memahami Perilaku Anak
Orang tua sebaiknya menjadi sosok yang paling dekat dan paling mengerti tingkah laku anak agar tidak terjadi salah paham atau kemarahan ketika anak berbuat hal-hal yang tidak biasa.
Cara mengenal anak bisa berbeda-beda, tergantung pendekatan masing-masing orang tua.
Selama pendekatan dilakukan dengan penuh pengertian tanpa ucapan kasar atau sikap menghakimi, anak akan merasa nyaman dan terbuka. Anak sebenarnya ingin dipahami, bukan hanya disuruh melakukan ini dan itu.
Memberikan Kesempatan pada Anak
Orang tua harus lebih sabar dan memberikan ruang bagi anak untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat, melakukan hal yang diinginkan, serta menghormati privasinya.
Dengan demikian, anak merasa dipercaya dan tidak merasa terkungkung dalam lingkungan keluarga.
Mengelola Emosi dengan Baik
Wajar bila orang tua kadang merasa emosional dalam mengasuh anak karena pengasuhan memang bukan hal mudah dan tidak ada rumus pasti.
Namun, sekeras apapun amarah itu, orang tua harus menyadari bahwa mereka dan anak sama-sama sedang belajar. Orang tua belajar mengasuh dengan baik, anak belajar memahami dunia sekitar, termasuk dari perilaku orang tuanya.
Menjalin Komunikasi yang Efektif dengan Anak
Selalu bangun komunikasi yang lancar dan baik dengan anak, mulai dari usia dini hingga dewasa. Komunikasi adalah kunci untuk mengatasi banyak masalah dalam hubungan orang tua dan anak.
Komunikasi tidak hanya lewat kata-kata, tapi juga dengan memperhatikan bahasa tubuh anak untuk mengetahui apa yang sedang dirasakannya.
Sebagai penutup, memahami apa itu toxic parents penting agar kita bisa menghindari perilaku merugikan dan menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak.